REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Hasyim Asy'ari menjelaskan alasan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tak lagi bersifat final. Hal ini disampaikan usai adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 32/PUU-XIX/2021 terkait perkara pengujian Pasal 458 ayat 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Salah satu alasan kenapa putusan DKPP tidak bersifat final, sebagai satu syarat keputusan objek TUN (Tata Usaha Negara) dalam hal pemberhentian, dapat dilihat dalam Pasal 38 ayat (3) UU 7/2017," ujar Hasyim yang mengampu Divisi Hukum dan Pengawasan KPU, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (31/3/2022).
Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu menyebutkan, putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Namun, dalam putusan nomor 32/PUU-XIX/2021, MK mengoreksi ketentuan tersebut menjadi, putusan DKPP mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek di peradilan TUN.
Hasyim menjelaskan, DKPP memutuskan pemberhentian anggota penyelenggara pemilu melalui rapat pleno. Anggota yang bersangkutan diberhentikan sementara sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, atau Bawaslu sampai diterbitkan keputusan pemberhentian oleh lembaga yang berwenang mengangkat dan memberhentikan sesuai tingkatannya.
Berdasarkan Pasal 37 ayat (3) UU 7/2017, anggota KPU RI diberhentikan oleh presiden serta anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota diberhentikan oleh KPU RI. Dengan demikian, keputusan presiden, KPU, dan Bawaslu sebagai pelaksanaan putusan DKPP dapat dijadikan objek gugatan atau sengketa di peradilan TUN.
Hasyim mengatakan, yang dimaksud final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada Pengadilan TUN (PTUN). Dalam konteks ini, presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP atau putusan PTUN yang mengkoreksi atau menguatkan putusan DKPP.
"Secara substantif DKPP harus bertanggung jawab terhadap materi putusannya, karena substansi putusan DKPP dapat diuji oleh PTUN melalui gugatan terhadap Keputusan Presiden, SK KPU dan SK Bawaslu, sebagaimana telah dipraktikkan dalam perkara Kak Evi (Anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik)," kata Hasyim.
Dia melanjutkan, pascaputusan MK 32/PUU-XIX/2021, apabila kemudian ada putusan PTUN yang mengabulkan gugatan keputusan pemberhentian anggota KPU daerah karena dampak putusan DKPP misalnya, KPU jadi tidak bisa menggunakan alasan final dan mengikat kembali. Karena ketundukan pada sifat final dan mengikatnya DKPP sudah dilakukan pada saat menerbitkan SK.
"Kalau SK-nya digugat ke PTUN dan ternyata penggugat menang, mau tidak mau harus dilaksanakan dengan pengangkatan kembali," tutur dia.