REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring dimulainya pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, masyarakat adat pun mempertanyakan nasib tanah mereka yang berada di dalam kawasan tersebut. Pemerintah mengemukakan sejumlah opsi terkait persoalan ini, mulai dari ganti rugi tanah hingga relokasi pemukiman.
Isu ini mencuat dalam acara Konsultasi Publik II Rancangan Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN yang digelar secara daring pada Sabtu (9/11/2022), lalu. Sebagai informasi, kawasan IKN dengan luas 256.142 hektare itu berlokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.
Salah satu perwakilan masyarakat yang menyuarakan isu tanah masyarakat adat adalah Deki Samuel dari Forum Dayak Bersatu. Deki mengingatkan, masyarakat adat sudah hidup di kawasan itu selama ratusan tahun secara turun-temurun.
Mereka, kata Deki, bermukim di sana dengan menempati tanah berstatus hak ulayat alias tanah adat, yang tentu tak bersertifikat. Dia pun cemas masyarakat adat akan terusir dari tanah itu lantaran tak punya sertifikat tanah. Jika itu terjadi, tentu hal itu akan memicu konflik.
"Perlu ada cara yang tepat oleh Otorita IKN dan Kementerian ATR-BPN untuk mengidentifikasi keberadaan masyarakat-masyarakat adat di sana," ujar Deki.
Kepala Biro Hukum Kementerian ATR/BPN, Joko Subagyo mengatakan, pihaknya akan membentuk tim khusus untuk mengidentifikasi masyarakat adat dan tanah ulayatnya di dalam kawasan IKN. Apabila keberadaan mereka dan tanahnya sesuai ketentuan, maka pemerintah akan mengakuinya.
Selanjutnya, kata Joko, pemerintah akan menempuh dua opsi tindakan terhadap tanah atau lahan masyarakat adat itu. Pertama, apabila ada lahan masyarakat adat yang dibutuhkan untuk pembangunan IKN, maka pemerintah akan melakukan pembebasan dengan mengacu UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
"Nantinya, warga masyarakat akan diberikan ganti rugi ataupun mekanisme lain yang disepakati antara dua pihak," ujar Joko.
Opsi kedua, apabila tanah masyarakat adat tertentu tak dibutuhkan untuk pembangunan IKN, maka pemukiman maupun kebun di atas tanah itu akan dipertahankan. Pemerintah juga akan memperhatikan apakah keberadaan pemukiman dan kebun itu sesuai dengan tata ruang atau tidak. "(Kalau) sesuai dengan tata ruang, itu (pemukiman dan kebun) justru akan dipertahankan, akan ditata," kata Joko.
Sementara itu, Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Penajam Paser Utara, Helena berharap agar masyarakat adat yang bermukim di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP, Ring 1 IKN) tidak direlokasi. "Kalau pun ternyata akan direlokasi, kami berharap tidak diberikan ganti untung berupa uang, tapi masyarakat direlokasi semacam transmigrasi lokal. Masyarakat dibuatkan rumah, diberikan lahan untuk berkebun, kemudian diberikan tunjangan kehidupan minimal selama 1 tahun," ujar Helena.
Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, Abdul Kamarzuki mengatakan, rencana relokasi seperti transmigrasi lokal memungkinkan dilakukan sebagaimana telah disampaikan beberapa kali oleh Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil. Terlebih, pemerintah sudah memiliki sejumlah bidang tanah di luar kawasan IKN, yang berlokasi tak jauh dari KIPP.
"Kita juga sudah punya sebagian tanah di Penajam Paser Utara di sebelah selatan dari IKN. Ini tidak begitu jauh dari KIPP. Nanti mungkin itu bisa juga (jadi tempat relokasi)," kata Abdul.