Senin 23 May 2022 15:23 WIB

Gubernur Tolak Lantik Penjabat Bupati, KPPOD: Akibat tak Ada Regulasi Teknis 

Dia mendorong pemerintah segera menerbitkan regulasi teknis pengangkatan penjabat.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai, aksi gubernur menolak untuk melantik penjabat bupati di wilayahnya akibat pemerintah tidak menerbitkan regulasi teknis yang khusus mengatur pengisian kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 dan 2023.
Foto: republika
Ilustrasi. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai, aksi gubernur menolak untuk melantik penjabat bupati di wilayahnya akibat pemerintah tidak menerbitkan regulasi teknis yang khusus mengatur pengisian kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 dan 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai, aksi gubernur menolak untuk melantik penjabat bupati di wilayahnya akibat pemerintah tidak menerbitkan regulasi teknis yang khusus mengatur pengisian kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 dan 2023. Menurut dia, hal ini tidak akan terjadi jika saja diterbitkan regulasi teknis mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah. 

"Dalam kondisi saat ini, menurut kami, ini menjadi preseden buruk ke depan, karena itu bisa diikuti gubernur-gubernur yang lain. Sehingga, menurut kami, pemerintah pusat segera mengeluarkan regulasi teknis biar clear, biar ada hitam di atas putih," ujar Armand saat dihubungi Republika, Senin (23/5/2022). 

Baca Juga

Armand menuturkan, pengangkatan lima penjabat gubernur dan 43 bupati/wali kota pada Mei 2022 ini menjadi preseden buruk karena mekanisme penunjukannya berdasarkan aturan yang sudah ada. Dalam hal ini, presiden mengangkat penjabat gubernur berdasarkan usulan menteri dalam negeri (mendagri) serta mendagri mengangkat penjabat bupati/wali kota berdasarkan usulan gubernur setempat. 

Namun, kata dia, mendagri dapat menunjuk kandidat penjabat bupati/wali kota di luar usulan pemerintah provinsi (pemprov) untuk sejumlah kepentingan seperti menjaga stabilitas politik. Hal ini, menurut Armand, menjadi celah diangkatnya penjabat kepala daerah di luar nama yang telah diusulkan. 

"Kalau kita melihat proses penjaringan itu seharusnya menteri dalam negeri menetapkan nama dari usulan yang disampaikan gubernur, karena gubernur sebagai pejabat di daerah paling tahu kondisi ekonomi, sosial, politik di daerahnya," kata Armand. 

Dia melanjutkan, apabila mendagri melantik penjabat di luar nama yang diusulkan gubernur, mendagri harus mampu menguraikan indikator atau alasan tidak dipilihnya penjabat dari usulan gubernur secara transparan. Menurut dia, mendagri juga harus persuasif mengajak gubernur untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan agar tidak berlarut-larut karena bisa berdampak pada tata kelola pembangunan di daerah. 

Dia mendorong pemerintah segera menerbitkan regulasi teknis karena khawatir penolakan pelantikan juga akan terjadi di berbagai daerah.  Sebab, ada 271 penjabat kepala daerah yang akan menjabat sampai 2024, terdiri dari tujuh gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota yang diangkat pada 2022 serta 17 gubernur, 115 bupati, dan 38 wali kota pada 2023. 

Armand menuturkan, pengisian kekosongan jabatan sebagai proses transisi menuju Pilkada serentak 2024 merupakan hal berbeda yang perlu diatur dengan regulasi teknis. Menurut dia, jika pemerintah menerbitkan regulasi teknis mengenai pengangkatan penjabat untuk menggantikan kepala daerah definitif yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023, persoalan gubernur menolak untuk melantik penjabat tidak akan terjadi. 

Dalam regulasi teknis tersebut semestinya mengatur mekanisme pengangkatan penjabat, persyaratan, karakteristik, serta kewenangan penjabat kepala daerah secara lebih detail. Hal ini demi menjaga prinsip demokratis, akuntabel, dan transparan sebagaimana amanat Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Di regulasi teknis itu diatur secara detail proses penyaringannya, siapa yang menyaring, siapa yang mengajukan, siapa yang menentukan, kemudian partisipasi publik seperti apa, siapa yang menetapkan, kriteria penetapan seperti apa," tutur Armand. 

Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dikabarkan memutuskan tidak melantik tiga penjabat bupati. Sebab, dua dari tiga penjabat bupati itu bukan merupakan usulan yang disampaikan gubernur, melainkan berasal dari usulan Kemendagri. 

Mengenai kewenangan penuh yang dimiliki mendagri untuk mengangkat penjabat kepala daerah ini dikritik ahli hukum tata negara dari Themis Indonesia, Feri Amsari. Dia mengatakan, jika praktik ini terus terjadi, akan ada banyak anak buah mendagri yang ditempatkan menjadi penjabat kepala daerah di antara 271 wilayah. 

"Dengan pola sekarang menteri dalam negeri jauh lebih powerfull. Bayangkan itu ada 271 anak buah baru menteri dalam negeri yang taat apa saja yang diperintahkan menteri," kata Feri. 

Meski terdapat empat larangan bagi penjabat kepala daerah, pembatasan ini dapat dikecualikan apabila mendapat persetujuan tertulis dari mendagri. Menurut Feri, ketentuan ini yang menjadi ruang untuk kepentingan tertentu bisa masuk melalui penjabat kepala daerah. 

Apalagi 271 daerah akan dipimpin penjabat selama dua sampai tiga tahun, hingga dilantiknya kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024. Berdasarkan  ketentuan, penjabat memiliki masa jabatan satu tahun dan dapat diperpanjang dengan orang yang sama atau berbeda. 

"Konsekuensinya dia akan bisa melakukan banyak hal ya karen sepanjang itu bisa diberi izin menteri dalam negeri ya jalan dia," tutur Feri. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement