REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penembakan massal yang menelan korban jiwa kembali terjadi di rumah sakit di Amerika Serikat (AS) pada Rabu (1/6/2022), setelah sebelumnya penembakan brutal di sebuah sekolah dasar. Dengan banyaknya tragedi ini, tidak sedikitpun menggerakkan hati AS untuk memperbarui undang-undang mereka tentang pengendalian senjata api.
Penembakan massal di Amerika yang semakin parah ini tetap saja mendapatkan perlawanan dari para penentang pembatasan penjualan senjata api. Mereka menyatakan, pembatasan kepemilikan hanya akan melanggar kebebasan pribadi mereka.
Menurut Pakar Hukum Pidana Indonesia dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, bahwa peristiwa ini tidak lepas dari izin kepemilikan senjata yang memang begitu mudah di Amerika Serikat. Sehingga setiap orang bebas untuk memiliki senjata api tersebut.
"Saking bebasnya hampir semua orang bisa melakukan apa saja dengan senjata api itu," kata Fickar, Kamis (2/6/2022).
Karena itulah, terangnya, hidup di negeri paman sam dibutuhkan kedewasaan, penguasaan diri, dan kecerdasan emosional. Karena apabila tidak mampu menahan diri setiap kali berhadapan dengan kemarahan dan kekecewaan, senjata api menjadi sangat mudah digunakan.
"Karena itu tergantung kedewasaan dan penguasaan diri seseorang dari setiap kekecewaan dan kemarahannya, sehingga tidak mudah menggunakan senjata api," jelasnya.
Yang tidak kalah penting juga tambahnya, adalah pendidikan agama dan budi pekerti yang harus dimiliki masing-masing individu. Keduanya kata dia, memiliki peran yang sangat penting dan sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat.
"Pendidikan agama dan budi pekerti memegang peran penting juga dalam pengendalian diri dalam kehidupan kemasyarakatan," terangnya.
Dilansir dari BBC, menurut data yang dirilis oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), senjata api menjadi penyebab utama kematian anak-anak dan remaja AS pada tahun 2020. Jumlahnya bahkan menyalip jumlah kasus yang disebabkan oleh kecelakaan mobil.
Sebuah laporan FBI juga menemukan bahwa serangan penembakan massal telah berlipat ganda sejak pandemi virus corona dimulai pada 2020.