REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO — Pusat Penelitian dan Studi Islam Raja Faisal (KFCRIS) Arab Saudi menyelenggarakan kuliah dengan tema, “Jepang sebagai Juru Selamat Dunia Muslim: Nasionalisme dan Kekaisaran Transnasional 1900-1945”. Acara tersebut terselenggara pada 7 Juni lalu secara daring.
Ceramah tersebut dimoderatori Ketua Program Studi Asia di pusat KFCRIS, Mohammed Al-Sudair, dan pembicaranya adalah Profesor Emeritus di Universitas Bogazici Ayse Selcuk Esenbel.
Esenbel mengeksplorasi bagaimana segmen nasionalis Jepang menggambarkan diri mereka sebagai penyelamat umat Islam dunia sebelum Perang Dunia II. Mereka berusaha untuk mengkooptasi mereka sebagai sekutu kekaisaran Jepang melawan kekuatan Barat pada tahun 1900-1945.
Dalam sesi tersebut, profesor Turki tersebut juga membahas kompleksitas perjumpaan intelektual dan politik antara aktivis diaspora Muslim dan intelektual Asiais Jepang selama perumusan strategi kekaisaran Jepang.
“Ada momen di mana Jepang proaktif dalam mencoba menanamkan wajah bahwa Jepang adalah sahabat khusus dunia Islam, tidak seperti kerajaan Barat yang mengeksploitasi dan menindas umat Islam,” kata Esenbel kepada peserta kuliah dilansir dari Arab News, Kamis (9/6/2022).
Pada awal abad ke-20, para transendentalis pan-Islam dan nasionalis Muslim yang kritis terhadap kolonialisme Barat berbondong-bondong ke Tokyo, yang mereka pilih sebagai surga politik. Menurut Esenbel, Tokyo menjadi “Paris bagi para imigran politik di awal abad ke-20.”
Dia juga menjelaskan Muslim Jepang pertama yang selalu dihadirkan sebagai jamaah haji pertama memiliki nama Muslim Umar Yamaoka Kotaro.
Pada 1909, dia tiba di Arab Saudi dan bertemu dengan tokoh-tokoh penting di Makkah dan Madinah. Esenbel mengatakan Kotaro tidak hanya membahas hal-hal yang berkaitan dengan Islam, tetapi juga politik. Khususnya, masa depan hubungan Jepang dengan umat Islam dunia, dan untuk menjalin hubungan persahabatan dengan tokoh-tokoh lokal Arab dan Jepang.
Profesor itu menjelaskan Muslim dan cendekiawan Jepang selalu berusaha menemukan hubungan atau kesamaan antara Islam dan tradisi keagamaan esoteris di Asia Timur.
Seorang Imam Islam Jepang, Tanaka Ippei, secara khusus mengeksplorasi ikatan antara spiritualitas Shinto dan Muslim, yang memiliki kesamaan dalam moralitas dan etika pribadi. Menurut Esenbel, inilah alasan mengapa orang Jepang lebih mudah masuk Islam, karena latar belakang yang akrab.
Di Asia Timur, Muslim dari China, selain imigran dan pengungsi, turut membentuk komunitas Muslim Jepang. Mereka membentuk komunitas diaspora di Kobe, Tokyo dan bagian lain dari wilayah kolonial Jepang.
Muslim Jepang pertama yang pergi haji ke Makkah dan Madinah terjadi pada awal abad ke-20. Kemudian mulai bertambah banyak terjadi pada tahun 1910, 1924, 1934, dan 1936.
Menurut Esenbel, kaum nasionalis China pada saat itu juga menyelenggarakan ibadah haji ke Makkah untuk bersaing dengan agenda Jepang yang mewakili diri mereka sebagai penyelamat Islam.
Pembukaan masjid pertama di Tokyo terjadi pada 12 Mei 1938, dianggap sebagai simbol potret Jepang sebagai penyelamat dunia Muslim.
Sumber: Arabnews