REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengatakan, demokrasi mengakomodir semua ide dan pemikiran, termasuk ide-ide yang menolak demokrasi itu sendiri. Namun, demokrasi tidak bisa mentolerir ide-ide yang mengarah pada tindakan destruktif seperti menyebarkan paham radikal.
"Pada dasarnya, organisasi-organisasi sebagaimana sebutlah HTI, FPI dan lain-lain merupakan suatu wadah yang kita nilai sebagai aspirasi. Sudut pandang kita dalam organisasi tersebut sebenarnya tidak salah,” kata Ray dalam kegiatan diskusi publik bertajuk, "Tantangan Radikalisme di Alam Demokrasi," di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, Kamis (16/6).
“Salah satu hal yang menyebabkan ia dilarang adalah penganut-penganut organisasi tersebut melakukan tindakan destruktif yang dapat mengganggu masyarakat yang lain. Semisal dengan cara melakukan kekerasan dan lain-lain," lanjutnya.
Dalam hal pelaku dan penyebar radikalisme yang mengarah pada kekerasan berbasis agama, lanjut Ray, harus dilakukan penindakan hukum secara adil dan manusiawi, serta tegas.
"Poin penting sebenarnya hukum kita adalah memberikan tindakan tegas terhadap pelaku dan penyebar radikalisme dan memberikan sanksi terhadapnya. itu peran penting dari hukum kita yang berkenaan dengan radikalisme ini," ucap dia.
Hal senada juga disampaikan peneliti Setara Institute, Cucu Sutrisno. Ia sepakat pentingnya penegakan hukum bagi kelompok yang hendak merongrong Pancasila dan UUD 1945. Namun, tetap harus mengedepankan HAM. "Perlu adanya Penegakan hukum yang adil dan tentu tidak melanggar HAM," kata Ray.
Masih di forum yang sama, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Wildani Hefni mengungkapkan bahwa merebaknya berita hoaks turut andil terhadap peningkatan radikalisme di Indonesia.
"Karena, banyak narasi-narasi negatif yang kita temui di sana," katanya.