REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Indonesia dipandang tidak bisa bersikap pasif dalam persoalan perang yang terjadi di Ukraina menyusul invasi Rusia. Pilihan Indonesia hanya bersikap bebas dan aktif mewujudkan perdamaian dunia menuju masyarakat berkeadilan sosial, yang dalam hal ini urgen dicari solusinya dalam peperangan di Ukraina.
Setidaknya lima tokoh nasional menegaskan hal tersebut. Mereka antara lain diplomat senior dan mantan wakil menlu Dino Patti Djalal, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Syafiq Ali, pengamat pertahanan Connie Rahakundili Bakrie, dan wartawan senior dan mantan pimpinan redaksi majalah Tempo, Bambang Harimurty.
Dino Patti Djalal menegaskan, Indonesia tidak punya pilihan kecuali mengupayakan segera berakhirnya perang. Indonesia, menurut Dino, harus mendesak Rusia segera menarik pulang seluruh pasukannya kembali ke negaranya sehingga tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya perdamaian. Semua itu tidak lain karena tuntutan Konstitusi Negara, yakni UUD 1945. Dalam Konstitusi, terutama pada Pembukaan, ditegaskan secara tersurat bahwa Indonesia mengakui kemerdekaan sebagai hak segala bangsa di dunia, dan penjajahan pun harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan kemanusiaan dan keadilan.
“Apa yang dilakukan Rusia itu jelas menjajah bangsa lain yang telah merdeka dan berdaulat, sehingga sikap Indonesia pun tak bisa berkompromi selain secara bebas dan aktif mengupayakan agar perang ini segera berakhir, Rusia segera keluar sehingga perdamaian terwujud di Ukraina, dan dunia umumnya,” kata Dino yang merupakan pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), lembaga swadaya hubungan internasional terbesar di Asia Tenggara, seperti dilansir dari Antara, Selasa (21/6/2022).
Dukungan kuat juga diberikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti. Menurut Prof Mu’ti, Muhammadiyah sangat mendukung perjuangan rakyat Ukraina untuk menegakkan kedaulatan yang memang menjadi hak mereka.
“Kami sangat bersimpati pada penderitaan rakyat Ukraina di satu sisi, serta pejuangan mereka di sisi lain. Kami berharap perang yang menghancurkan kehidupan dan menimbulkan banyak korban itu segera berakhir,” kata Prof Mu’ti.
Untuk itu, kata dia, meski disadari bahwa apa yang diberikan sebagai bantuan masih relatif kecil, Muhammadiyah berkomitmen untuk memberikan bantuan agar rakyat Ukraina bisa mengatasi beban yang mereka hadapi.
Sementara tokoh muda anggota PBNU Syafiq Ali menegaskan perlunya langkah-langkah strategis dan segera dari komunitas internasional, termasuk Indonesia, agar peperangan tersebut segera berakhir.
“Bagaimana pun dalam hal ini ada kedaulatan bangsa yang dilanggar, selain menimbulkan banyak korban yang tak bersalah; anak-anak, para orang tua, dan sebagainya. Karena itu, perang ini harus secepatnya diakhiri,”kata Syafiq.
Mendesaknya upaya untuk mengakhiri perang juga dikemukakan pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie. Menurut pengajar Universitas Jenderal Ahmad Yani, Bandung tersebut, perang di Ukraina kini telah berimbas ke banyak kawasan dan menghantam sisi ekonomi serta sosial. “Jadi, apapun yang bisa kita lakukan untuk segera mengakhiri perang tersebut, segeralah lakukan. Ini sudah sangat mendesak,”kata dia.
Mantan Pimpinan Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harimurty, melihat bahwa hubungan baik Indonesia dengan Ukraina telah terjalin lama, lebih dari 30 tahun. Pada hubungan tersebut, kata Bambang, banyak pihak yang melihat adanya semacam ‘utang’ Indonesia terhadap Ukraina, terutama berkaitan dengan dukungan dunia terhadap kemerdekaan Indonesia dari Belanda.
Bambang menunjuk peristiwa 21 Januari 1946 manakala Perwakilan Tinggi Ukraina, Dmytro Manuilsky, dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengusulkan untuk memasukkan 'Masalah Indonesia' menjadi agenda di PBB. “Berkat usulan tersebut digelar sidang Dewan Keamanan PBB untuk membahas persoalan Indonesia yang menghasilkan pengakuan global terhadap Republik Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat,” kata Bambang.
Bahkan, kata Bambang, tiga tahun kemudian yakni Januari 1949, manakala Indonesia diserang Belanda melalui Agresi Militer yang mereka sebut Aksi Polisional I dan II, kembali Dmytro Manuilsky mengecam Agresi Militer tersebut dalam forum PBB yang saat itu digelar di New Delhi, India.
“Maka inilah saatnya Indonesia membayar utang diplomasi tersebut, dengan membantu Ukraina yang tengah kesulitan karena kemerdekaannya direbut Rusia melalui invasi yang dimulai Februari lalu,” kata Bambang. Pekan lalu Kedutaan Besar Ukraina di Jakarta menggelar malam peringatan 30 tahun hubungan Ukraina-Indonesia.
Pada acara yang semarak tersebut hadir Dirjen Amerika dan Eropa Kemlu, I Gede Ngurah Swajaya; sejumlah politisi aantar lain Meutya Hafid, Maya Rumantir dan Fadli Zon; para tokoh agama seperti Wakil Ketua Umum MUI,KH. Marsudi Syuhud; Sekum PP Muhammdiyah Prof Abdul Mu’ti; anggota PBNU Syafiq Ali; pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, hingga tokoh-tokoh bisnis Indonesia-Ukraina. Dalam kegiatan peringatan 30 tahun hubungan Ukraina-Indonesia itu juga digelar pameran lukisan dan penggalangan dana bagi korban perang.