REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT), Putranefo A Prayugo, Selasa (29/3), divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Ia divonis hukuman enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan penjara.
"Majelis hakim menyatakan Ir Putranefo A Prayugo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama," kata Ketua Majelis Hakim, Nani Indrawati saat membacakan putusannya.
Majelis hakim juga memutuskan Putranefo harus membayar uang ganti rugi hasil korupsinya sebesar Rp 89,329 miliar. Uang ganti rugi tersebut harus dibayar paling lama satu bulan setelah ia mendapat putusan hukum yang tetap. Jika tidak, hartanya akan disita dan dilelang atau diganti pidana penjara selama tiga tahun.
Majelis hakim menyatakan Putranevo telah terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 junto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor junto Pasal 55 ayat 1 ke 1 junto Pasal 65 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sesuai dakwaan kesatu primer. Karena dakwaan kesatu primer terbukti, maka dakwaan kesatu sekunder gugur dengan sendirinya
Dalam mengeluarkan keputusannya itu, majelis hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan Putranefo. Yang memberakan adalah perbuatannya telah merugikan keuangan negara dalam jumlah yang cukup besar sedangkan yang meringankan adalah ia masih muda dan menderita penyakit.
Putusan atas Putranefo itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebelumnya, Putranefo dituntut hukuman pidana penjara selama tujuh tahun dan denda Rp 250 juta subsider tiga tahun tahanan.
Saat membacakan putusannya, majelis hakim menyatakan Putranefo melakukan tindak pidana korupsi dengan pemilik PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo, Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Departemen Kehutanan (Dephut) Wandojo Siswanto, Kepala Sub Bagian Sarana Khusus Biro Umum Dephut Joni Aliando, dan Kepala Bagian Perlengkapan Biro Umum Dephut Aryono, melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam amar putusannya, hakim menyatakan Putranefo terbukti meminta Aryono dan Wandojo untuk menunjuk perusahaannya sebagai rekanan. Dia sebelumnya diduga mengarahkan agar PT Masaro Radiokom dicantumkan sebagai pelaksana pengadaan dalam usulan revisi III DIPA 69 tahun 2006 yang diajukan ke Komisi IV DPR.
Dalam pelaksanaanya, Sekretaris Jenderal Dephut Boen Mochtar Purnama menkondisikan agar seolah-olah PT Masaro adalah agen tunggal merek Motorolla yang memproduksi radio pada frekuensi 230-245 Mhz. Sebagai tanda terima kasih, terdakwa kemudian memberikan uang senilai Rp 20 juta dan US$ 10 ribu kepada Wandjojo serta US$ 20 ribu untuk Boen.
Kepada majelis hakim, Putranefo menyatakan akan memikirkan terlebih dahulu apakah akan mengajukan banding atau menerima. Ia diberikan waktu tujuh hari untuk memberikan keputusannya itu. Usai persidangan, ia memberikan sedikit keterangan kepada wartawan. Menurutnya, majelis hakim tidak banyak mempertimbangkan fakta persidangan dalam membuat keputusan terhadapnya. "Tapi mau bagaimana, keputusan telah dikeluarkan," ujar Putranevo.
Kuasa hukum Putranevo, Slamet Yuwono mengatakan, pihaknya kecewa dengan putusan majelis hakim tersebut. Karena, perhitungan ganti rugi sebesar Rp 89 miliar itu adalah perhitungan PT Land Industry dimana perusahaan itu terkait langsung dengan proyek SKRT dan terkait juga dengan Motorolla. "Sudah perhitungannya salah, kami disuruh bayar ganti rugi juga," ungkap Slamet.
Terkait masalah perhitungan itu, Slamet mengatakan pihaknya sudah mengajukan keberatan kepada majelis hakim. Tetapi, majelis hakim tidak mempertimbangkannya. Oleh karena itu, Slamet mengatakan kliennya hanya menjadi korban. Putranevo dan perusahaannya merasa dikriminalisasi namun ia menolak menyebutkan siapa pihak yang melakukan hal tersebut.
Selain itu, mengenai uang ganti rugi sebesar Rp 89 miliar, Slamet mengatakan majelis hakim tidak mengambil keputusan yang tepat. Karena, klienya itu tidak memiliki uang untuk menggantinya. "Nanti kalau disita harta bendanya, anak isitrinya mau tinggal dimana?," ujarnya.
Seperti diketahui, Putranevo adalah Presiden Direktur PT Masaro Radiocom, perusahaan yang menjadi rekanan Departemen Kehutanan dalam program revitalisasi jaringan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) pada tahun 2006-2007. Ia didakwa melakukan korupsi pada proyek tersebut dan diduga merugikan negara sebesar Rp 89,3 miliar.
Dia juga didakwa telah memberikan suap kepada pejabat Kemenhut dan anggota Komisi IV DPR persetujuan anggaran revitalisasi SKRT. PT Masaro merupakan perusahaan milik Anggoro Widjojo, kakak terpidana kasus percobaan suap pimpinan KPK Anggodo Widjojo.