REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta melansir terdapat 12 ribu guru honorer yang statusnya sulit diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Kepala Disdik DKI Jakarta, Taufik Hadi Mulyanto, mengaku guru honorer di ibu kota tahun 2011 berjumlah 12 ribu.
Padahal kebutuhan guru honorer di seluruh sekolah di DKI Jakarta hanya 9 ribu. "Jadi di DKI Jakarta terdapat kelebihan 3 ribu guru honorer, meski secara keseluruhan jumlah kebutuhan guru masih kurang," kata Taufik kepada Republika di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (14/4).
Taufik menyatakan, rentangan pengabdian guru honorer itu mulai lima sampai 20 tahun. Banyak di antara meraka yang statusnya tidak jelas dan tidak bisa otomatis diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS). Ia mengaku prihatin melihat kenyataan itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, pengangkatan menjadi status PNS itu mutlak kewenangan Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta.
"Harapan semuanya pasti guru honorer diangkat jadi PNS. Tapi itu tergantung kebutuhan dan BKD yang tahu tentang itu," ujarnya. Taufik menyadari peran guru honorer tidak kalah dengan guru PNS. Beban kerja mereka bahkan banyak yang lebih berat dibanding PNS. "Tapi, lagi-lagi saya tidak punya wewenang untuk mengangkat mereka, meski sudah puluhan tahun mengabdi," ungkapnya.
Menurut dia, sistem pengangkatan pegawai saat ini masih belum berpihak kepada guru honorer. Jika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membutuhkan tambahan pegawai, sambung Taufik, guru honorer harus berkompetisi dengan pendaftar dari masyarakat umum saat perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Tidak ada perbedaan sistem yang membuat pengabdian guru honorer dinilai agar lebih diutamakan jadi PNS.
"Jika mau jadi PNS, guru honorer ya harus ikut bersaing dengan pendaftar jika terdapat lowongan CPNS," katanya.
Taufik mengakui jika banyak guru honorer yang unggul dibanding guru PNS. Bahkan guru honorer jadi tulang punggung sekolah dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Ia memprediksi 95 persen guru bahasa Inggris berstatus guru honorer. Taufik menyebut, sebagian besar guru PNS jarang yang mampu menguasai bahasa Inggris dengan baik. "Meski jadi guru andalan dan beban kerja sama dengan PNS, guru honorer harus menerima nasibnya seperti itu," jelas Taufik.
Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, HM Firmansyah, mengkritik kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang tidak berpihak pada guru honorer. Ia mengungkap, akibat kebijakan baru Gubernur DKI yang memotong dana alokasi pendidikan maka pendapatan guru honorer saat ini rata-rata hanya Rp 200 ribu per bulan. Angka itu menurun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya mencapai Rp 900 ribu.
"Bagaimana guru bisa mengajar optimal jika kesejahteraannya saja tidak terpenuhi. Masalah ini harus jadi perhatian Pemprov," tegas Firmansyah.
Yang menggelikan, kata Firmansyah, rasio guru PNS dengan honorer di ibu kota 40 persen berbanding 60 persen. Alias jumlah guru honorer lebih banyak daripada guru PNS. Ia mengungkap, berdasar hasil penelusurannya terdapat sekolah negeri yang hanya kepala sekolah dan dua guru berstatus PNS, lainnya berstatus honorer. Hal itu dinilainya sangat memiriskan dan harus dicarikan solusi agar pendidikan di DKI Jakarta bisa meningkat.
Firmansyah berjanji akan memperjuangkan masalah itu ke Ketua DPRD dan Gubernur DKI Jakarta agar alokasi dana pendidikan untuk membayar guru honorer ditingkatkan. "Jika gaji guru honorer masih rendah, maka akan ada diskriminasi dan kualitas pendidikan sulit meningkat," katanya menerangkan.