REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN - Puluhan pedagang yang biasa berjualan di Masjid Agung, Medan, Sumatera Utara (Sumut), mengeluh atas kebijakan pengurus Masjid Agung yang melarang berjualan di masjid terbesar di Medan itu.
Selain karena dilakukan secara sepihak, kebijakan pelarangan itu dinilai hanya untuk mengembangkan kegiatan perparkiran yang juga dikelola pihak yayasan masjid. Pelarangan itu mulai diterapkan pada 2 Desember lalu, atau pada shalat Jumat pertama pada bulan ini.
"Kami tiba-tiba saja dilarang tanpa ada sosialisasi lebih dahulu," kata Leny, yang biasa berjualan nasi uduk pada setiap Jumat di pekarangan masjid, kemarin (8/12).
Akibatnya, barang dagangannya pun tidak bisa terjual dan dia menderita kerugian tidak sedikit. Sedangkan Iyus, yang sudah 17 tahun berjualan sate di pelataran parkir Masjid Agung menambahkan, pihaknya mendapat surat edaran dari pihak Yayasan Masjid Agung pada 26 Nopember 2011 lalu.
"Di dalam surat itu disebutkan, kalau tanggal 2 Desember, kami sudah tidak boleh lagi berjualan di sini," ungkapnya.
Dalam surat No 26/YMA/SU/XI/2011, pihak Yayasan Masjid Agung menyampaikan bahwa penertiban dilakukan untuk menata areal halaman Masjid Agung agar tidak semrawut dan bisa digunakan untuk perparkiran.
Dalam penertiban ini, tidak hanya ditujukan kepada pedagang harian, tapi juga terhadap pedagang pasar kaget. Artinya, tidak akan ada lagi pasar kaget setiap Jumat yang biasanya ramai digelar di pekarangan masjid.
Iyus dan pedagang lainnya merasa kecewa dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, mereka menilai pihak yayasan hanya sebelah pihak saja tanpa berbicara dengan pedagang terlebih dahulu. Menurut Iyus, pihaknya tidak diberi kesempatan untuk berbicara dan bertemu dengan pihak yayasan.
"Kami tidak diberi kesempatan berbicara, apalagi bertemu. Mereka tidak mau ketemu kami," bebernya.
Mereka berharap agar yayasan memberi keringanan kepada para pedagang, mengingat mereka sudah puluhan tahun berjualan di sana dan menggantungkan nasibnya dari hasil berjualan itu. "Hanya berjualan di masjid inilah mata pencarian kami," kata Lia, yang biasa berjualan minuman kemasan setiap hari di situ.
Para pedagang menilai penggusuran sepihak ini erat kaitannya dengan parkir kendaraan yang kini dikembangkan oleh pihak pengurus masjid. Hal ini terindikasi dari banyaknya kendaraan yang parkir di pelataran masjid.
Namun ironisnya, yang memarkirkan kenderaannya di masjid bukan jamaah masjid, melainkan pengunjung mall Sun Plaza, yang kebetulan bersisian letaknya dengan masjid.
"Mereka bilang untuk parkir jamaah, tapi faktanya, jamaah yang shalat hanya sedikit. Apalagi hari Minggu,
parkir penuh, tapi yang sholat tidak ada. Artinya, yang nonmuslim banyak memasuki halaman masjid," beberapa pedagang kesal.
Setiap hari diperkirakan ribuan sepeda motor parkir di pekarangan Masjid Agung. Hanya saja, tidak pernah jelas pemasukan dari parkir itu dialokasikan ke mana. Sedangkan perawatan juga terbilang minim dilakukan di masjid ini.
Sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan itu, para pedagang mengumpulkan tanda tangan yang akan disampaikan ke pihak yayasan. Bahkan, jika keluhan mereka tidak diakomodir, mereka akan menyampaikan hal tersebut ke Pelaksana tugas Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho.