Kamis 15 Mar 2012 15:07 WIB

Pajak Alat Berat Pertambangan Dinilai Tepat, Pengusaha Menolak

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Produksi batu bara, ilustrasi
Produksi batu bara, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Pemerintah menilai pemberlakukan pajak alat-alat berat sudah benar karena seperti yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dalam uji materi (judicial review) dengan agenda mendengarkan saksi ahli, pemerintah menghadirkan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kalimantan Selatan (Kalsel) Gustafa Yandi.

Gustafa memaparkan alasan kepada majelis hakim menyangkut fakta yang ada di Kalsel. Ia menjelaskan pajak itu tak lepas dari kekayaan sumber daya alam yang dianugerahkan kepada provinsinya, berupa potensi pertambangan batubara dan biji besi di atas satu juta hektare dari delapan kabupaten di sana.

Melihat potensi pada 2011, dari 100 juta metrik ton batubara yang dipungut kendaraan alat berat, realisasi mencapai Rp 42,784 miliar yang masuk ke kas daerah. Rinciannya adalah pajak kendaraan bermotor (PKB) sebesar Rp 12,517 miliar dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sebanyak 30,267 miliar.

Menurut Gustafa, angka itu didapat dari pungutan pajak sekitar 2.400 alat berat yang terdaftar di Dispenda Kalsel. Berdasarkan penghitungannya, pengangkutan 100 juta metrik ton batubara itu diangkut 5.000 lebih angkutan berat. “Kami seharusnya bisa dapat pajak 100 miliar kalau perusahaan tertib membayar pajak, tapi belum semua kendaraan didaftarkan ke kami,” kata Gustafa di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (15/3).

Gustafa menyatakan, pemohon boleh berdalih bahwa alat berat tidak menggunakan fasilitas umum dan jalan raya. Sehingga tidak selayaknya alat berat dikenakan pajak dobel dan disamakan dengan kendaraan bermotor lainnya yang memanfaatkan jalan raya setiap harinya. “Itu dalih mereka. Tapi mereka tetap memanfaatkan fasilitas negara sebab pengangkutannya tetap melewati jalan,” ujarnya.

Sedengakn saksi ahli pemohon, Bagir Manan menilai pengenakan pajak alat berat itu kurang pas sebab ada alat berat yang hanya beroperasi di areal persawahan, perkebunan, maupun pabrik. Kalau ditarik pajak lagi, sebutnya, maka dari sisi keadilan itu memberatkan pengusaha.

Berdasarkan perbincanggannya dengan pemohon, didapat bahwa mereka tidak keberatan membayar pajak asal tidak dicari-cari jenis pajak. “Alat berat itu seharusnya tidak ditarik pajak. Sepanjang pajak itu adil dan tidak berlipat,” kata Bagir.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement