Kamis 07 Jul 2022 14:07 WIB

MK Tolak Gugatan DPD dan PBB Soal Presidential Threshold

DPD tidak memiliki kedudukan hukum, dan permohonan PBB dinilai tidak beralasan.

Ilustrasi. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan atau pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Ilustrasi. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan atau pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan atau pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Gugatan ini diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB).

"Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon II untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Kamis (7/7/2022).

Baca Juga

Selain menolak permohonan gugatan kedua pemohon, ketua MK mengatakan, DPD RI selaku pemohon I juga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Sementara itu, PBB selaku pemohon II yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, tetapi pokok permohonannya tidak beralasan menurut hukum.

Dalam perkara tersebut, pemohon mengajukan pengujian norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bunyi pasal tersebut ialah pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang penuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pemohon I yang terdiri atas Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti dan Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin mempersoalkan berlakunya Pasal 222. Pemohon menilai pasal tersebut telah menderogasi dan menghalangi hak serta kewajiban Pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan putra dan putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

Selain itu, adanya ketentuan ambang batas tersebut hanya memberikan akses khusus kepada elite politik yang memiliki kekuatan tanpa menimbang dengan matang kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu. Padahal, banyak putra dan putri yang mampu serta layak menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. 

Karena itu, berlakunya Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah merugikan hak konstitusional Pemohon I. Sementara itu, Pemohon II sebagai partai politik peserta pemilu yang meraih suara sebanyak 1.099.849 atau setara 0,79 persen seharusnya memiliki hak konstitusi mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Hal itu sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement