REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya atas uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan diajukan Partai Gelora yang menggugat Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 terkait keserentakan pemungutan suara pemilu.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 35/PUU-XX/2022, Kamis (7/7/2022).
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, norma tersebut telah beberapa kali diuji. Namun, terdapat perbedaan dasar pengujian maupun alasan konstitusional dalam permohonan perkara sebelumnya, yakni 37/PUU-XVII/2019, 55/PUU-XVII/2019, dan 16/PUU-XIX/2021.
Alasan konstitusional permohonan ini salah satunya menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Alasan pengujian "penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024 yang dilaksanakan pada hari yang sama telah menghalangi pemohon untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden” pun belum digunakan dalam ketiga permohonan sebelumnya.
Karena itu, permohonan ini dapat diajukan kembali, sehingga Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan. Setelah berbagai pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019, Mahkamah tetap dengan pendiriannya ihwal keserentakan penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan pemilu presiden dan wakil presiden adalah konstitusional dengan memberikan beberapa alternatif pilihan model pelaksanaan pemilu serentak.
Hal tersebut terdapat dalam pertimbangan hukum putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020 lalu. Meskipun Mahkamah memberikan beberapa kemungkinan alternatif pilihan model pelaksanaan pemilu serentak, tetapi pilihan model pelaksanaan pemilu serentak tersebut tetap harus menjaga sifat keserentakan pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPD dengan pemilu presiden dan wakilnya.
"Sikap dan pendirian Mahkamah demikian telah didasarkan kepada original intent UUD 1945, doktriner dan praktik dengan basis argumentasi keserentakan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilu presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial," kata Saldi.
Artinya, dia melanjutkan, meskipun terbuka kemungkinan untuk menggeser pendiriannya, tetapi sampai sejauh ini Mahkamah belum memiliki alasan yang kuat untuk menggeser pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019 dimaksud.
Pemohon ingin memisahkan waktu penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan pemilu presiden dan wakil presiden tidak dilaksanakan pada hari yang sama tetapi pada tahun yang sama. Penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan lebih dahulu dibandingkan pemilu pesiden dan wakil presiden.
Menurut Mahkamah, keinginan pemohon tersebut sama saja dengan mengembalikan kepada model penyelenggaraan Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 yang telah tegas dinyatakan inkonstitusional. Sikap demikian telah ditegaskan kembali dalam putusan MK nomor 16/PUU-XIX/2021 yang diucapkan pada 24 November 2021.
"Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan frasa “secara serentak” sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional," ujar Saldi.
Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu disebutkan; Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional. Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu disebutkan; Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.