REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai kemunculan subvarian omicron BA.2.75 harus diwaspadai. Data awal menyebutkan subvarian ini memiliki kemampuan menginfeksi tak kalah cepat dengan sub varian omicron lainnya yaitu BA.5.
"Subvarian BA.2.75 ini masih harus terus diamati, tetapi data awal sudah memperlihatkan kecepatannya dalam menginfeksi yang tidak kalah dengan BA.5. Ini tentu harus diwaspadai," ujar Dicky saat dihubungi Republika, Kamis (7/7/2022).
Ia menjelaskan, subvarian BA.2.75 lahir dari India. Seperti yang diketahui, dia melanjutkan, varian atau subvarian dari India ini biasanya punya potensi yang cukup serius jika berkaca pada varian Kappa, Delta yang dilaporkan dari negara ini.
Apalagi penderita gangguan sistem kekebalan (immunocompromised) juga banyak sehingga cenderung mutasi ini punya potensi serius terkait kemampuan menginfeksi dan menular."Kemudian bisa juga menurunkan efikasi antibodi dan terakhir potensi keparahan yang mesti diamati. Jadi, prinsipnya adalah kehati-hatian," ujarnya.
Lebih lanjut, ia merekomendasikan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat, lebih diawasi, dan dikuatkan literasinya mengenai memakai masker dan bagian protokol kesehatan lainnya. "Ini untuk mengantisipasi adanya varian atau subvarian lain. (Diharapkan) aspek pemulihan tidak terganggu karena aktivitas sosial ekonomi yang berjalan," ujarnya.
Sebelumnya, dalam pemaparan terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai kasus Covid-19, India disebut menjadi negara pertama yang melaporkan temuan subvarian omicron BA.2.75.
"Di Eropa dan Amerika, sub varian omicron BA.4 dan BA.5 menimbulkan gelombang baru. Kemudian di India, telah ditemukan subvarian baru BA.2.75 yang saat ini sedang kami monitor," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari situs resmi WHO, Kamis (7/7/2022).