REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah menanggapi perubahan aturan masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Menurut Jejen, aturan tersebut memiliki kelemahan dari setiap kategori jalur masuk PTN.
Pertama, untuk kategori Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), kelemahan dari aturan baru adalah nilai rapor atau nilai mata pelajaran di setiap sekolah atau daerah berbeda-beda “kualitas”-nya. “Apakah karena perbedaan rata-rata kemampuan siswa di sekolah atau daerah, atau karena perbedaan cara guru memberi nilai, ada yang mudah, sedang, atau sulit memberikan nilai bagus,” kata Jejen kepada Republika.co.id, Rabu (7/9/2022).
Sedangkan untuk aturan baru kategori kedua, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dinilai banyak disetujui oleh pakar. Sebab, kata dia, SBMPTN aturan baru yang hanya melalui jalur tes skolatik relatif sesuai dengan mazhab kompetensi holistik dan multidisiplin.
“Ini banyak disetujui oleh pakar bahwa manusia yang sukses adalah manusia yang punya kapasitas holistik dan multidisiplin. Manusia demikian juga bisa punya daya tahan untuk sukses menjadi mahasiswa,” ujar.
Terakhir, untuk kategori jalur Mandiri, Jejen menyebut kelemahannya adalah kewajiban orang tua membayar uang pangkal atau sejenisnya. Sebaiknya, siswa tidak dikenakan uang pangkal dan kelulusan murni ditentukan oleh kemampuan mengisi jawaban tes atau kapasitas akademik.
Lebih lanjut, Jejen mengusulkan sebaiknya jalur masuk PTN hanya ada satu dengan mempertimbangkan prestasi dan hasil tes. “Satu jalur yang dimaksud adalah penilaian dari prestasi dan hasil tes. Banyaknya jalur tes berakibat pengeluaran orang tua lebih besar dari yang seharusnya,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim meluncurkan transformasi baru seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) melalui Merdeka Belajar episode 22. Pada seleksi nasional berdasarkan prestasi, sebelumnya memisahkan calon mahasiswa berdasarkan jurusan pada pendidikan menengah.
Akibatnya, peserta didik tidak punya kesempatan untuk mengeksplorasi minat dan aspirasi kelasnya. Kemudian hanya mata pelajaran tertentu yang dipertimbangkan dalam seleksi. Ini berdampak pada mata pelajaran lain menjadi dianggap tidak terlalu penting dan fokus belajar tidak menyeluruh.
Ke depan, seleksi akan berfokus pada pemberian penghargaan tinggi atas kesuksesan pembelajaran yang menyeluruh di pendidikan menengah. Hal itu dilakukan melalui pemberian bobot minimal 50 persen untuk nilai rata-rata rapor seluruh mata pelajaran. Dengan pemberian bobot yang tinggi ini, diharapkan peserta didik terdorong untuk berprestasi di seluruh mata pelajaran secara holistik.