REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menolak bergabung dalam tim adhoc penyelidikan kasus hak asasi manusia (HAM) berat pembunuhan aktivis Munir Said Thalib. Usman mengatakan, ajakan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu sepihak, tiba-tiba, dan tanpa konsultasi.
Dalam keterangan pers, Rabu (7/9), Komnas HAM mengatakan telah mencari dua anggota tim adhoc dari eksternal lembaganya. Dalam penyampain tersebut, Komnas HAM menyebut Usman Hamid sebagai salah satu anggota tim dan dinyatakan bersedia.
“Namun hal itu, sebenarnya belum dikonsultasikan secara layak (kepada saya), dan saya telah meminta waktu untuk mengambil keputusan, yang akhirnya (saya) menolak,” kata Usman dalam siaran pers hari yang sama.
Sementara, Komnas HAM sudah resmi membentuk tim adhoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat pembunuhan Munir pada Rabu (7/9). Tim adhoc tersebut beranggotakan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam. Tim tersebut masih mencari tiga anggota lainnya untuk bergabung. Salah satu yang diumumkan adalah Usman Hamid dari Amnesty Internasional Indonesia.
Terkait dengan kasus pembunuhan Munir, Usman menerangkan, Amnesty Indonesia, mendorong Komnas HAM segera menetapkan peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat. Hari ini, Rabu (7/9/2022), genap 18 tahun peristiwa pembunuhan terhadap Munir. Munir dibunuh pada 7 September 2004 silam.
Usman menerangkan, menengok kasus pembunuhan Munir, peristiwa tersebut menunjukkan praktik pelanggaran HAM berat berupa serangan yang ditujukan kepada warga sipil. Munir adalah pegiat dan aktivis kemanusian yang bekerja sebagai pembela hak-hak asasi manusia.
Kata Usman, pembunuhan Munir adalah praktik sistematis yang berasal dari kebijakan dan pemufakatan jahat. Kasus tersebut diduga melibatkan otoritas resmi negara. “Khususnya Badan Intelijen Negara (BIN) dan maskapai penerbangan negara,” ujar Usman.
Sebab itu, kata Usman, Amnesty Indonesia sejak lama mendesak agar Komnas HAM segera membentuk tim adhoc dan menyatakan pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. “Kategori kejahatan kemanusian,” kata dia.
Pada 2005, pemerintah pernah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Dari laporan TPF, disebutkan motif pembunuhan terkait aktivitas Munir dalam membela HAM. Munir di masa lalu, juga termasuk kerap melakukan kritik terhadap kerja BIN.
Rekomendasi TPF mendesak Presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim Investigas Independen. Rekomendasi TPF lainnya meminta Presiden memerintahkan Kapolri untuk memeriksa lima nama yang terlibat dalam pembunuhan tersebut.
“Termasuk di antaranya Kepala BIN, terkait kemungkinan perannya dalam pemufakatan jahat terhadap Munir,” kata Usman.
Dalam kelanjutan pengusutan kasus tersebut, cuma tiga nama yang diadili ke pengadilan. “Semuanya pegawai maskapai Garuda Indonesia,” kata Usman. Sedangkan dua nama lainnya tak diproses hukum.
Satu nama yang santer adalah mantan agen BIN, Muchdi Purwopranjono. Ia pernah diadili di persidangan pada 2008. Akan tetapi, Muchdi PR dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari tuntutan pidana.
Selanjutnya, pada September 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan komitmen dan janji untuk penuntasan kasus Munir ke persidangan. Akan tetapi, janji itu belum terealisasikan hingga saat ini.
Presiden Jokowi sampai saat ini tak bersedia mempublikasikan Laporan TPF 2005. Menurut Usman, hal tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi presiden atas mandatnya sendiri. Sebab, ada Keputusan Presiden (Kepres) 111/2004, tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Munir.
“Yang itu mengamanatkan pemerintah mengumumkan Laporan TPF Munir kepada masyarakat,” kata Usman.