Sabtu 24 Sep 2022 06:38 WIB

Jaksa KPK Dinilai Abaikan Fakta Persidangan Terkait Tuntutan Eks Dirjen Kemendagri

Menurut Reno, terdapat ketidaksesuaian keterangan saksi-saksi yang mengantar 'uang'.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Agus raharjo
Terdakwa mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian Noervianto (kiri) berbincang dengan kuasa hukumnya usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2022). JPU KPK menuntut Mochamad Ardian Noervianto dengan pidana?delapan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dalam kasus suap pengurusan pinjaman dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kolaka Timur Tahun 2021.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian Noervianto (kiri) berbincang dengan kuasa hukumnya usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2022). JPU KPK menuntut Mochamad Ardian Noervianto dengan pidana?delapan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dalam kasus suap pengurusan pinjaman dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kolaka Timur Tahun 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim kuasa hukum Mochamad Ardian Noervianto membantah semua kesimpulan jaksa KPK yang menyebut Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menerima suap terkait pengurusan pinjaman dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Kabupaten Kolaka Timur. Jaksa KPK dinilai telah banyak mengabaikan fakta yang terungkap dalam persidangan, bahkan ada beberapa keterangan saksi dalam berita acara penyidikan (BAP) dicabut oleh jaksa.

“Jaksa banyak mengabaikan fakta persidangan,” kata salah satu tim penasihat hukum Ardian, Reno Rahmat Hajar dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (23/9/2022).

Baca Juga

Ia mengatakan, beberapa indikasi atau bukti pengabaian fakta persidangan oleh jaksa KPK. Pertama, sambungnya, Ardian tidak pernah memberi persetujuan atau kesepakatan untuk membantu Andi Merya mendapat Pinjaman PEN sebesar Rp 350 miliar.

Hal ini, kata dia, bisa dilihat dari keterangan Andi Merya sendiri di persidangan. Pada intinya, Andi menyatakan terdakwa Ardian tidak pernah berkata akan membantu untuk mendapatkan dana PEN sebanyak Rp 350 miliar tersebut.

“Saksi menyatakan belum ada pembahasan angka saat pertemuan di ruang kerja terdakwa Ardian, sehingga proposal usulan Pinjaman PEN Kolaka Timur diserahkan kepada staf terdakwa Ardian,” ujar Reno.

Demikian pula, keterangan Laode M Syukur Akbar, yang ikut dalam pertemuan tersebut, tidak mendengar Ardian menyebut-nyebut Rp 300 miliar dan tidak mendengar seluruh isi pembicaraan. Sementara itu, keterangan Sukarman Loke menyatakan Andi Merya bertemu dengan Ardian pada tanggal 4 Mei 2021.

“Saksi mengetahui usulan Kolaka Timur sebesar Rp 300 miliar setelah saksi menelepon Mustakim Darwis untuk bertanya. Yang pasti, saksi menyatakan Rp 300 miliar merupakan usulan, bukan hasil dari pertemuan dengan Terdakwa Ardian,” tutur dia mengutip pernyataan Sukarman Loke.

Kedua, lanjutnya, Ardian tidak pernah meminta fee kepada Andy Merya untuk memuluskan pinjaman PEN Kolaka Timur. Menurutnya, pertemuan 10 Juni 2021 antara Mochammad Ardian dengan Laode M Syukur Akbar yang dianggap Moch Ardian meminta fee tidak pernah ada.

"Saksi Laode M Syukur Akbar juga menyatakan sebenarnya tidak ada permintaan persen dari terdakwa Ardian. Yang menentukan angka 1 persen adalah Sukarman,” ungkapnya.

Ketiga, Ardian tidak pernah menerima uang dari Andi Merya atau siapapun terkait pinjaman. Menurut Reno, terdapat ketidaksesuaian keterangan saksi-saksi yang mengantar 'uang'.

"Saksi Ochtavian mengaku Syukur memberi amplop coklat setebal 1-2 cm kepadanya yang menurut keterangan Syukur amplop tersebut berisi Dolar Singapura dan amplop tersebut dalam keadaan tertutup serta dilem dan saksi tidak pernah membuka isi amplop tersebut. Lalu, saksi Bagas Aziz Pangestu yang mengantar Ochta tidak pernah mengetahui ada titipan amplop dari Syukur,” ungkap dia.

Reno melanjutkan, terdakwa sendiri dalam keterangan di persidangan menyatakan tidak pernah memberi prioritas kepada Kabupaten Kolaka Timur untuk dapat dibahas dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) antara PT SMI, DJPK, Kemendagri dan Pemda. Ardian tidak pernah menyarankan agar usulan PEN Kolaka Timur disesuaikan.

Hal ini, jelas dia, diperkuat keterangan saksi Silvy yang menyatakan Kemendagri tidak memiliki peran memberi persetujuan mengenai daerah yang layak untuk dilanjutkan ke Rakortek. Yang mengundang Pemerintahan Daerah untuk mengikuti Rakortek adalah PT SMI berdasarkan data dari Kementerian Keuangan.

Hal senada disampaikan saksi Erdian yang menyatakan Kementerian Keuangan yang menentukan besaran alokasi bagi Pemerintah Daerah setelah di-review. Dirjen Bina Keuangan Daerah tidak memiliki kewenangan menentukan persenan yang akan dicairkan untuk pinjaman Pemerintah Daerah. Ia menyebut, dari uraian itu, jaksa tidak mempertimbangkan fakta itu sama sekali.

“Untuk itu, kita meminta Majelis Hakim untuk mencermati dan mempertimbangkan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Terdakwa seharusnya tidak memenuhi unsur-unsur yang didakwakan,” jelasnya.

Sebelumnya, Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut eks Dirjen Bina Keuangan daerah Kemendagri M Ardian Noervianto dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ardian terjerat kasus suap dana pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) pada 2021.

Jaksa menilai perbuatan Ardian dilakukan secara sadar dan terdapat ”kesengajaan“. Sehingga, segala akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut diketahui dan dikehendaki Ardian. Tuntutan itu disampaikan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (15/9/2022).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement