Senin 10 Oct 2022 20:08 WIB

Kemenperin: Penetapan Kebutuhan Impor Garam Industri Sudah Transparan

Rekomendasi impor garam Kemenperin sesuai rakortas di bawah Kemenko Perekonomian.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sejumlah pekerja mengumpulkan garam ke dalam karung di desa Luwunggeusik, Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menghitung kebutuhan garam sebagai bahan baku dan bahan penolong bagi sektor industri berdasarkan surat pengajuan dari asosiasi industri maupun survei bersama kementerian dan lembaga terkait.
Foto: Dedhez Anggara/ANTARA
Sejumlah pekerja mengumpulkan garam ke dalam karung di desa Luwunggeusik, Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menghitung kebutuhan garam sebagai bahan baku dan bahan penolong bagi sektor industri berdasarkan surat pengajuan dari asosiasi industri maupun survei bersama kementerian dan lembaga terkait.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menghitung kebutuhan garam sebagai bahan baku dan bahan penolong bagi sektor industri berdasarkan surat pengajuan dari asosiasi industri maupun survei bersama kementerian dan lembaga terkait.

Bahkan termasuk dalam penetapan kuota impor, dilakukan pembahasan lintas kementerian dan lembaga di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, serta koordinasi dengan Bareskrim Polri dan melakukan rapat terbatas dengan Wakil Presiden.

“Artinya, penetapan kebutuhan impor garam untuk industri sudah transparan dan sesuai prosedur, dan menggambarkan kebutuhan sektor industri manufaktur secara keseluruhan. Baik yang membutuhkan garam dari impor maupun dari lokal seperti sektor industri tekstil, penyamakan kulit, dan lainnya,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian sekaligus Staf Khusus Menteri Perindustrian Bidang Pengawasan Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, Senin (10/10).

Hal itu, kata dia, misalnya tecermin dalam rekomendasi dari Kemenperin maupun Persetujuan Impor (PI) yang diterbitkan Kementerian Perdagangan sebesar 3,16 juta ton pada 2018. “Jadi, di bawah angka kebutuhan 3,7 juta ton. Sedangkan realisasi impor pada 2018 itu sebesar 2,84 juta ton,” ujarnya.

Pernyataan Jubir Kemenperin tersebut sekaligus menanggapi yang telah disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana, beberapa waktu lalu. Saat ini, Kejagung tengah melakukan penyidikan terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas impor garam industri pada 2016 sampai 2022.

Febri menjelaskan, penggunaan garam impor diverifikasi oleh lembaga independen pada saat verifikasi untuk kebutuhan tahun berikutnya. Selain itu, perusahaan menyampaikan laporan kepada Kemenperin setiap kuartal.

“Realisasi impor pada kenyataannya selama ini selalu lebih kecil daripada PI yang diterbitkan karena industri pun tidak akan melakukan impor jika memang tidak memerlukan impor. Sedangkan PI tersebut merupakan rencana dari industri,” jelas dia.

Menanggapi pernyataan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait rekomendasi impor garam dari KKP sebesar maksimal 1,82 juta ton, hanya melalui tiga pelabuhan bongkar, yaitu Ciwandan, Tanjung Perak dan Belawan, serta waktu pemasukan juga dibatasi pada periode Januari-April 2018, Kemenperin memandang hal tersebut akan berdampak terhadap keberlangsungan industri yang membutuhkan garam sebagai bahan baku dan penolong.

Hal ini karena beberapa perusahaan industri memerlukan jaminan kontinuitas pasokan dan kebutuhannya besar yang memerlukan importasi secara kontinyu tiap bulan khususnya sektor industri khlor alkali (CAP).

“Beberapa industri sudah mempunyai jetty sendiri dengan investasi yang tidak murah. Kemudian, sektor industri farmasi yang kebutuhannya tersebar dalam jumlah kecil juga memerlukan importasi melalui udara karena volume kecil tersebut,” jelas dia.

Kemenperin mendukung proses penegakan hukum terkait impor garam industri yang sedang dilakukan Kejagung saat ini. Terkait hal tersebut, rekomendasi impor yang dikeluarkan Kemenperin tetap berdasarkan kuota yang telah ditetapkan Rakortas di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Jika ada realokasi maupun tambahan kuota, tetap dilakukan berdasarkan Rakortas dan rekomendasi Kemenperin sebagai acuan Kemendag dalam penerbitan PI. Hal ini supaya perubahan tersebut tidak melebihi kuota yang telah ditetapkan dalam Rakortas.

Jika dalam pelaksanaannya ditemukan rembesan atau penyalahgunaan, ini merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha sesuai aturan Permenperin 34 Nomor 2018 tentang Tatacara Pemberian Rekomendasi Impor Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Menurut peraturan tersebut, pelaku usaha akan dikenai sanksi tidak memperoleh rekomendasi untuk tahun berikutnya.

Kemenperin telah berupaya melakukan substitusi impor, khususnya untuk sektor aneka pangan dan pengeboran minyak. Pada Neraca Komoditas 2022, kebutuhan garam di aneka pangan sebesar 630 ribu ton, sedangkan sektor pengeboran minyak membutuhkan 30 ribu ton.

Meski demikian, alokasi impor sebesar 466 ribu ton hanya diberikan kepada sektor aneka pangan. Harapannya, kebutuhan garam bagi industri pengeboran minyak dan IKM aneka pangan dapat dipenuhi dari bahan baku garam lokal.

“Harga garam lokal sudah mencapai Rp 1.000 per kg, bahkan akhir-akhir ini di atas Rp 1.500 per kg, serta tidak terdapat sisa stok berlebih di lapangan karena penyerapan terus berlangsung dengan harga yang tinggi tersebut. Diharapkan hal ini akan tetap terus terjaga ke depannya dengan penerapan Neraca Komoditas dalam pengendalian impor garam,” tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement