REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024, menuai protes dari serikat pekerja. Sebab, para pekerja yang bergantung hidup pada industri hasil tembakau (IHT) terancam kehilangan pekerjaan akibat kenaikan cukai rokok yang angkanya di atas inflasi.
“Kami cukup terkejut dan prihatin atas keputusan pemerintah menaikkan CHT. Padahal, sebagaimana yang selama ini disampaikan pemerintah, kita harus waspada atas situasi pasca-pandemi Covid-19 dan stabilitas international terhadap perekonomian Indonesia,” ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI, Sudarto, Sabtu (12/11/2022).
Belum lagi, sambung Sudarto, pemerintah baru saja menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang memicu kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya. Hal tersebut, dia nilai, otomatis menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat. FSP RTMM SPSI juga menyayangkan kenaikan cukai SKT yang dampaknya sangat terasa pada pekerja di sektor itu.
"Pekerja rokok SKT yang padat karya sesungguhnya sudah jadi korban bertahun-tahun, mulai dari turunnya penghasilan sampai PHK,” kata dia.
Sudarto mengatakan, keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai Bukanlah langkah yang tepat. Pihaknya menilai, keputusan itu tidak bijaksana karena para pekerja memiliki hak bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak.
"Dampak penurunan penghasilan dan PHK selama ini sudah terjadi. Terlebih di situasi saat ini, dapat dipastikan pekerja adalah korbannya,” kata dia.
Karena itu, pihaknya meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan cukai yang bakal berlaku dua tahun tersebut. “Karena yang kami tahu baru berupa pengumuman. Besar harapan kami, dalam dokumen (Peraturan Menteri Keuangan), keputusannya benar-benar mempertimbangkan dengan teliti imbas kenaikan cukai rokok terhadap industri dan pekerja,” kata dia.
Sudarto menambahkan, cukai SKT idealnya tidak perlu naik, khususnya ketika pemerintah memahami bahwa sistem renumerasi dan hubungan pekerja SKT sangat dipengaruhi kebijakan cukai yang berlaku.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara, mengatakan penetapan kebijakan cukai rokok selalu mempertimbangkan empat aspek penting yakni pengendalian konsumsi, produksi, penerimaan negara, dan pengawasan barang kena cukai (BKC) illegal.
“Ini selalu kita coba balance setiap kali kita membicarakan mengenai kebijakan cukai rokok. Ini adalah filosofi dasar dari penetapan kebijakan cukai rokok setiap tahun,” kata Suahasil.
Dia juga menjelaskan, pihaknya turut mempertimbangkan keberlangsungan tenaga kerja dan dampak terhadap petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.
Perusahaan rokok yang memproduksi hasil tembakau itu punya kaitan dengan ketenagakerjaan. Apalagi untuk industri hasil tembakau Indonesia yang bahkan ada segmen dikerjakan dengan tangan. Pasti ada hubungannya itu dengan penyerapan tenaga kerja kita, employment creation kita,” kata dia.