REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Allah SWT menegaskan bahwa laki-laki adalah qawwam. Hal ini jelas menggambarkan tentang ketentuan struktur keluarga.
Dalam surat An Nisa ayat 34 sangat jelas. Allah SWT berfirman sebagai berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”
Imam as-Suyuthi menjelaskan kata qawwam dengan makna musallithun (penanggung jawab). Makna itu disebutkan dalam terjemahan resmi Kementerian Agama RI.
Pada catatan kakinya dijelaskan, sebagai kepala keluarga, suami bertanggung jawab untuk melindungi, mengayomi, mengurusi, dan mengupayakan kemaslahatan keluarga. Dari makna itu, tidak ada sama sekali pesan bahwa suami boleh bersikap diktator dan bertindak zalim kepada istri.
Apa yang membuat ketentuan di atas adalah karena kaum laki-laki memang didesain secara fisik dan psikologis untuk memikul tugas tersebut: Bimaa fadhdhalalahu ba'dhahum 'alaa ba'dh (karena Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan).
Kelebihan tersebut tampak secara fisik memang laki-laki tidak ada beban menyusui, kehamilan, haid, dan nifas, maka menjadi mudah baginya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dalam rangka memperoleh nafkah bagi keluarganya.
Secara psikologis, laki-laki dibekali akal yang lebih besar porsinya sehingga dia berpikir lebih logis, bijak, dan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Itulah mengapa hak talak diberikan kepada laki-laki supaya dalam rumah tangga tidak mudah terjadi perceraian.
Itu dikuatkan dalam ayat tentang persaksian yang mengatakan bahwa satu laki-laki sebanding dengan dua perempuan.
Lalu, Allah SWT menjelaskan sebabnya, yaitu supaya satu sama lain saling melengkapi kekurangannya dan saling mengingatkan jika terjadi kelupaan: فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ “.. supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya..” (QS Al Baqarah ayat 282).
Desain penciptaan perempuan berbeda karena lebih besar porsi perasaannya. Sebab, perempuan harus melaksanakan tugas-tugas khusus yang memerlukan perasaan, seperti kehamilan, menyusui, dan menanggung rutinitas haid.
Itulah alasan kaum perempuan tidak dibebani tugas mencari nafkah. Allah membebankan tugas nafkah kepada laki-laki: Wa bimaa anfaquu min amwaalihim.
Berdasarkan itu, maka tanggung jawab perempuan adalah menjadikan dirinya salehah, menaati Allah SWT, dan menjaga kehormatan dirinya saat suami tidak ada di rumahnya: Fash shaalihatu qaanitaatun haafizhaatun lilgahibi.
Dikhususkan kata hafizhaatun lilghaibi sebab banyak kaum istri yang berselingkuh pada saat suami sedang bekerja. Karena itu, ayat berikutnya adalah bimaa hafzhallahu (dengan penjagaan Allah SWT), maksudnya bahwa hal tersebut sangat membutuhkan pertolongan-Nya.
Jika ternyata muncul maksiat nusyuz pada diri seorang istri, suami harus bertindak tegas, bukan keras. Beberapa caranya ada sebagai berikut.
Pertama ialah faizhuuhunna (beri nasihat kepadanya). Jika itu tidak berhasil, wahjuruuhunna fil madhaaji'i (pisah ranjang). Jika itu masih juga belum berhasil, lakukan cara lain, wadhribuuhunna (pukullah).
Dalam hal yang terakhir, para ulama tafsir sepakat dengan mengatakan Dharban ghaira mubarrih, yaitu pukulan yang tidak keras, apalagi sampai menimbulkan luka atau memar. Sungguh itu bukan yang dimaksudkan dalam syariat.
*Naskah Motivasi Alquran di bawah asuhan Ustadz Dr Amir Faishol Fath, pakar tafsir Alquran, dai nasional dan CEO Fath Institute. Tayang di Harian Republika.