REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Pusat Riset Geoteknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eko Yulianto, merekomendasikan rumah-rumah yang ada di Indonesia untuk membuat 'ruang aman' yang bisa digunakan sebagai tempat berlindung ketika suatu waktu terjadi gempa bumi. Hal itu dia sebut dapat menjadi jalan tengah di tengah situasi dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
"Pada kondisi saat ini adalah bagaimana menyelamatkan atau melindungi sebagian besar masyarakat Indonesia yang rumahnya belum baik kalau menghadapi risiko gempa. Makanya kemudian rekomendasi yang menurut saya paling masuk akal sebagai jalan tengah adalah membuat ruang aman," kata Eko kepada Republika.co.id, Rabu (23/11/2022).
Eko mengatakan, setiap rumah perlu memiliki ruang aman sebagai tempat berlindung oleh penghuninya ketika gempa sewaktu-waktu terjadi. Ruang aman, kata dia, dapat berupa ruangan yang benar-benar diperkuat bangunannya, baik itu kamar tidur maupun kamar mandi. Ruang aman ini menjadi penting karena kapan, di mana, dan seberapa besar gempa di masa depan tidak pernah diketahui.
"Kalau kamar tidur terlalu besar dan terlalu mahal, bisa kamar mandi. Yang penting mencukupi untuk penghuni rumah itu," kata Eko.
Dia menambahkan, jika memperbaiki suatu ruangan dinilai terlalu mahal, perabotan bisa menjadi jalan keluar lainnya. Meja, tempat tidur, tangga, atau perabotan-perabotan lain yang ada di rumah dapat diperkuat atau diperkokoh kaki-kakinya sehingga nantinya bisa digunakan sebagai tempat berlindung.
"Sehingga kalau ada ancaman itu datang maka penghuni bisa masuk ke situ dan selamat meski katakanlah bangunannya roboh. Itu paling masuk akal karena lebih murah daripada misalnya imbauan yang bersifat normatif harus membuat rumah tahan gempa. Terlalu mahal itu untuk sebagian besar masyarakat Indonesia," kata Eko.
Menurut Eko, sosialisasi terkait perlunya ruang aman di suatu rumah perlu dilakukan lebih masif. Sebab, dia melihat secara umum kesadaran masyarakat akan hal itu masih belum baik. Gempa, kata dia, masih belum dilihat sebagai sebuah ancaman yang nyata, yang dapat sewaktu-waktu terjadi.
"Boleh dikatakan secara umum belum (terbentuk kesadaran) untuk konteks gempa. Karena barangkali salah satu penyebabnya adalah peristiwa itu berulangannya panjang waktunya. Sehingga kemudian tidak dilihat sebagai sebuah ancaman yang nyata," tutur dia.