Kamis 24 Nov 2022 18:30 WIB

Pemerintah-Komisi III Sepakati 11 Poin RKUHP, Apa Saja?

Syarat batas usia kandungan aborsi dari 12 pekan diubah menjadi 14 pekan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022). Rapat kerja tersebut membahas penyampaian penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil sosialisasi Pemerintah.
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022). Rapat kerja tersebut membahas penyampaian penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil sosialisasi Pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy mengaku telah menampung aspirasi dari seluruh fraksi di Komisi III DPR terkait rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hasilnya, terdapat 11 poin yang diperbaiki pemerintah dan disepakati keduanya.

Pertama adalah terkait hukum yang hidup di dalam masyarakat atau living law. Pihaknya menambahkan ayat bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan peraturan pemerintah (PP).

Baca Juga

Kedua adalah terkait Pasal 100 tentang hukuman mati. Sebelum keputusan tersebut, pasal tersebut menjelaskan bahwa hakim 'dapat' menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Masa percobaan tersebut harus memperhatikan dua hal.

Pertama adalah pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri. Kedua, peran terdakwa dalam tindak pidana. "Pasal 100 dan ini disuarakan oleh semua fraksi yaitu kita menghapus kata 'dapat'," ujar Eddy saat rapat kerja dengan Komisi III, Kamis (24/11/2022).

Ketiga adalah tambahan sedikit terkait redaksional, yaitu mengenai tindakan terhadap ideologi negara. Kalimat yang ditambahkan menjadi 'penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme, marxisme, leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila'.

Selanjutnya adalah penghapusan Pasal 347 tentang penghinaan terhadap lembaga negara. Sebelum keputusan tersebut, ia menjelaskan bahwa Pasal 347 ayat 1 berbunyi, 'Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II'. Dalam penjelasannya, lembaga negara terdiri dari MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Kendati Pasal 347 tentang penghinaan lembaga negara dihapus, pihaknya menggabungkannya ke Pasal 240 RKUHP. Sebelum keputusan tersebut, Pasal 240 Ayat 1 menjelaskan, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina 'pemerintah', dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

"Kita merge ke Pasal 240. Sehingga judulnya adalah penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara yang pada intinya adalah satu, merupakan delik aduan. Itu dia bersifat formil, tapi kalau ada kerusuhan kemudian dia bersifat delik materiil," ujar Eddy.

Lima adalah terkait pengertian penghinaan. Pengertian 'penghinaan' diambil dari Pasal 218 RKUHP. Arti penghinaan adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah. Sambungnya, menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi.

Contoh kritik dapat melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara. Sebab, dalam negara demokratis, kritik menjadi hal yang penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif.

"Walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara. Pada dasarnya kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat," ujar Eddy.

Enam, tindak pidana terhadap kekuasan pemerintahan. Tujuh, berkaitan dengan contempt of court. Ke-8, terkait kohabitasi yang ditambahkan penjelasan. Sembilan adalah terkait aborsi, di mana syarat batas usia kandungan 12 pekan ditambah menjadi 14 pekan.

"10, terkait tindak pidana narkotika yang semula ada enam ketentuan, ini kita me-reduce hanya tinggal menggunakan Pasal 610 dan 611," ujar Eddy.

Terakhir adalah mencabut beberapa ketentuan seperti yang diusulkan oleh sejumlah anggota Komisi III. Beberapa di antaranya adalah pasal-pasal yang terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement