Rabu 30 Nov 2022 03:23 WIB

Penolakan Pengusaha terhadap Kenaikan UMP Dinilai Sangat Wajar

Resesi 2023 berpotensi menurunkan permintaan ekspor dan otomatis turunkan omzet.

Rep: Mabruroh/ Red: Indira Rezkisari
Pekerja menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (28/11/2022). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp 4,9 juta per bulan atau naik 5,6 persen pada tahun depan. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pekerja menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (28/11/2022). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp 4,9 juta per bulan atau naik 5,6 persen pada tahun depan. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah telah memutuskan menaikkan Upah Minuman Provinsi (UMP) 2023 sebesar maksimum  10 persen. Kenaikan ini pun menuai pro dan kontra, terutama dari industri-industri padat karya yang akan mengalami tekanan dari dua sisi apabila UMP dinaikkan.

Pengusaha melalui asosiasi pengusaha menolak kenaikan UMP dan bakal mengajukan uji materil Permenaker. Menanggapi penolakan tersebut, pakar bisnis Yuswohady mengatakan penolakan itu hal yang wajar karena mereka tergencet dari dua sisi sekaligus.

Baca Juga

“Pak Jokowi sudah bilang, tahun depan tahun gelap, jadi di tengah ketidakmenentuan terus ini ada lagi kenaikan UMP, jadi pengusaha ini tergencet dari sisi omset maupun dari sisi cost,” kata Yuswohady dalam sambungan telepon, Selasa (29/11/2022).

Ia kemudian menuturkan, dari sisi supplier atau perusahaan padat karya yang memiliki karyawan dalam jumlah besar dengan upah karyawannya di bawah UMP, maka akan keberatan. Misalnya perusahaan garmen, apparel, sepatu di mana target pasar mereka adalah ekspor seperti ke pasar Eropa dan AS yang kini sedang dilanda krisis.

“Demand (permintaan) berat, ekspornya berat, jadi secara refunded dia tidak mencapai target karena demand lagi turun. Sementara dari sisi cost dia akan naik betul, karena kenaikan UMP ini,” jelasnya.

“Bayangkan kalau ribuan perusahaan dan itu memang gajinya selama ini basisnya UMP maka ketika UMP naik harus menaikkan gaji itu kali ribuan (karyawan). Satu orang naik 10 persen tapi dikali ribuan buruh itu yang perlu diwanti-wanti,” sambungnya.

Sedangkan perusahaan yang karyawannya memang upahnya sudah tinggi atau di atas UMP tentu saja tidak akan masalah dengan kenaikan UMP saat ini. Kenaikan ini menurut mereka mungkin tidak ada pengaruhnya.

Jadi lanjut dia, industri-industri yang memiliki karakteristik dua tadi, di ekspor dan pegawainya banyak dengan upah di bawah UMP maka banyak pengusaha yang menolak kenaikan ini. Karenanya, menurut Yuswohady akan lebih bagus jika pemerintah memberikan bantuan juga kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki ciri-ciri rawan terkena krisis global.

“Makanya perlu ada kebijakan-kebijakan, ketika UMP dinaikkan maka nanti harus ada bimbingan atau dukungan dari pemerintah agar jangan sampai perusahaan-perusahaan yang tergencet di dua sisi itu jangan sampai PHK massal,” tuturnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement