REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) turut menolak beberapa pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sudah disetujui DPR dan pemerintah. AJI menuntut beberapa pasal yang dianggap bermasalah dan berpotensi memberantas kebebasan pers serta kemerdekaan demokrasi, dihapuskan.
Tuntutan itu disampaikan Ketua Umum AJI Sasmito dalam aksi bersama menolak RKUHP yang disiarkan secara virtual beberapa hari hingga Rabu (7/12/2022). Aksi penolakan RKUHP digelar AJI secara offline dan online di berbagai kota sejak Ahad-Senin, 4-5 Desember 2022.
Sasmito mengatakan dalam RKUHP yang baru versi 30 November 2022, AJI masih menemukan 17 pasal bermasalah dalam draf RKUHP-nya. Di dalamnya berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
“DPR dan pemerintah harus menunda pengesahan RKUHP karena akan memberangus kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. AJI akan terus bersuara sampai pasal-pasal bermasalah dihapus,” kata Sasmito dalam aksi bersama yang disiarkan secara virtual, Rabu (7/12/2022).
Selain itu, AJI menilai pembahasan RKUHP tidak transparan dan tidak memberikan ruang kepada publik untuk dapat berpartisipasi secara bermakna. Pemerintah dan DPR belum pernah menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang diambil terkait masukan-masukan dari publik, termasuk komunitas pers.
Selain AJI, kritik terhadap RKUHP juga disampaikan Anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu. Ia mengatakan rencana pengesahan RKUHP oleh DPR, merupakan ancaman bagi kemerdekaan pers, karena banyaknya pasal yang bermasalah.
Menurutnya pengaturan pidana Pers dalam RKUHP, menciderai regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sehingga upaya kriminalisasi dalam RKUHP, tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam UU Pers.
"Karena unsur penting berdemokrasi, dengan kemerdekaan berbicara, kemerdekaan berpendapat serta kemerdekaan pers. Karena itu mewujudkan kedaulatan rakyat,” kata Ninik.
Ia menegaskan dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki. Pihaknya pun telah menyampaikan keberatan isi RKUHP ini ke presiden.
“Dewan Pers telah sampaikan kepada presiden bahwa RKUHP masih bermuatan membatasi kemerdekaan pers, dan berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik. Kemerdekaan pers dan berpendapat seharusnya tercermin dalam RKUHP yang baru. Karena kemerdekaan pers menjadi unsur penting menciptakan kehidupan bermasyarakat yang demokratis,” ujar Ninik.
Sementara itu, berbagai penolakan terkait RKUHP terus terjadi. Beberapa aksi penolakan pasal-pasal bermasalah di RKUHP juga digelar di berbagai daerah. Di antaranya dilakukan di Jayapura, Manokwari, Lhokseumawe, Semarang, Padang, Bandar Lampung, Bandung, Medan, Jakarta, Samarinda, Yogyakarta, Kediri, Surabaya, Jambi, Manado, Makassar, Sukabumi.
Ini daftar pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP yang menjadi sorotan AJI:
• Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
• Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
• Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
• Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
• Pasal 264 yang mengatur tindak pindana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
• Pasal 280 yag mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
• Pasal 300, Pasal 301 dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
• Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.
• Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.
• Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.
• Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
Amri Amrullah