REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie mengajak segenap bangsa Indonesia agar menerima pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang. "Saya mengajak segenap warga bangsa, sudah terima saja dulu sambil kritisisme kita jangan berhenti. Kalau ada pasal-pasal (dinilai) tidak adil, ya diajukan kepada Mahkamah Konstitusi," ujar Jimly kepada wartawan di Kantor Komisi Yudisial RI, Jakarta, Senin (5/12/2022).
Menurut dia, RKUHP mendesak untuk disahkan karena KUHP yang dimiliki Indonesia pada saat ini merupakan warisan peninggalan kolonial. "Masa sejak diusulkan diubah pada 1963 sampai hari ini sudah abad ke-21, KUHP bikinan Belanda tidak berhasil digantikan oleh bangsa Indonesia yang merdeka. Itu bikin malu," ujar Jimly.
Meskipun mendesak untuk disahkan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menilai rumusan RKUHP masih belum sempurna. Oleh karena itu, dia berharap seiring berjalannya waktu, ada beragam masukan dari masyarakat mengenai implementasi RKUHP setelah disahkan menjadi undang-undang yang dapat menyempurnakan beragam ketentuan di dalamnya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mempersilakan pihak yang masih tidak setuju terhadap RKUHP agar mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi setelah menjadi undang-undang. "Kalau pada akhirnya tidak setuju, daripada kita harus pakai UU KUHP Belanda yang sudah ortodoks, dan dalam KUHP ini sudah banyak yang reformatif, bagus. Kalau ada perbedaan pendapat, nanti kalau sudah disahkan, gugat di MK, itu mekanisme konstitusional," kata Yasonna usai menghadiri rapat kerja di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Alih-alih membatalkan RKUHP yang telah disusun lebih dari 60 tahun itu, menurut dia, mengajukan gugatan ke MK merupakan cara yang lebih elegan. "Jadi, mari sebagai anak bangsa, perbedaan pendapat sah-sah saja. Kalau pada akhirnya nanti (masih ada kontra), saya mohon gugat saja di MK lebih elegan caranya," ucap dia.