Rabu 21 Dec 2022 08:19 WIB

Yang Korupsi Siapa, Mengapa OTT Disalahkan?

Jumlah OTT KPK pada masa Firli Bahuri sudah mulai menurut.

Rep: Flori Anastasia Sidebang/Rizky Suryarandika/ Red: Fitriyan Zamzami
Tersangka Hakim Agung Sudrajad Dimyati yang terjerat OTT KPK mengenakan rompi tahanan saat berjalan menuju mobil tahanan usai dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (24/9/2022).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Tersangka Hakim Agung Sudrajad Dimyati yang terjerat OTT KPK mengenakan rompi tahanan saat berjalan menuju mobil tahanan usai dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (24/9/2022).

Oleh Flori Sidebang, Rizky Suryarandika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan bukan pejabat yang asing dengan pernyataan kontroversial. Yang terkini, ia menuding operasi-operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencoreng muka bangsa.

Ada semacam pesimisme dalam pernyataannya bahwa Indonesia tak bakal bersih dari korupsi. “Kita kalau mau bersih-bersih amat di surga saja lah, Kau. KPK pun jangan pula sedikit-sedikit tangkap-tangkap. Itu nggak bagus juga, ya, lihat-lihat lah,” kata Luhut saat memberikan sambutan dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Tahun 2023-2024, di Jakarta, Selasa (20/12/2022).

Menurut dia, upaya pencegahan harusnya dilakukan lebih maksimal. Jika pengawasan dilakukan dengan sistem yang terdigitalisasi, kata dia, maka akan sulit melakukan korupsi. “OTT itu kan ndak bagus sebenarnya, buat negeri ini jelek banget, gitu. Tapi kalau digitalisasi ini sudah jalan, tidak akan bisa main-main,” ujar dia.

Pernyataan ini disambut pula oleh sejumlah pejabat lainnya. "Tak salah dong Pak Luhut. Daripada kita selalu dikagetkan oleh OTT, lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tak ada celah korupsi. Kan memang begitu arahnya," tulis Menko Polhukam Mahfud MD dalam akun Instagram-nya, Selasa (20/12/2022).

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Mahfud MD (@mohmahfudmd)

 

Sepanjang tahun ini, KPK melakukan sedikitnya sembilan kali OTT. Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2020 sebanyak delapan kali OTT, dan enam kali pada 2021. OTT sepanjang masa kepemimpinan Firli Bahuri yang dimulai pada Desember 2019 itu sedianya jauh lebih kecil dari angka sebelumnya. Sepanjang 2019 saja, KPK melakukan 21 kali OTT. Sementara pada 2018, ada 30 OTT dilakukan KPK, lebih banyak dari OTT sepanjang tiga tahun kepemimpinan Firli. Artinya, keinginan Luhut sedianya sudah sedikit terakomodasi pada periode pimpinan KPK kali ini. 

Tak heran, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak mengamini pernyataan Luhut tersebut. Johanis menilai, dengan adanya digitalisasi pada berbagai sektor dapat mencegah terjadinya tindak korupsi. Sehingga diharapkan tidak ada lagi pihak yang terjaring OTT.

"Kalau menurut saya, sudah benar yang disampaikan Pak Menteri (Luhut). Beliau meyakini bahwa digitalisasi pada berbagai sektor akan membuat operasi tangkap tangan (OTT) yang terkait dengan tindak pidana korupsi tidak lagi terjadi," kata Johanis kepada Republika, Selasa (20/12/2022). "Jadi jangan disalahartikan maksud beliau. Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakan tangkap tangan (T3). Kalau banyak yang kena T3, berarti birokrasi masih belum bagus," ujar Johanis yang juga sempat membuat ramai kala menyarankan restorative justice untuk pelaku korupsi beberapa waktu lalu.

Bicara soal digitalisasi sistem, hanya sedikit saja OTT terkait sistem birokrasi daerah. Hanya dua OTT tahun ini yang terkait pengadaan barang dan jasa. Diantaranya terhadap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan  Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas'ud (AGM). Keduanya ditangkap pada Januari 2022.

Sisanya, OTT lebih kepada hal-hal yang sukar dilacak pada sistem. Diantaranya soal penerimaan gratifikasi, kemudian suap perkara pidana/perdata, dan jual beli jabatan.

Selain itu, sejumlah OTT juga kerap tak soal kasusnya saja. Ia membuka penyidikan dan sorotan terhadap hal-hal lain. Jika Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana PA, tak dijaring lewat OTT, misalnya, kasus perbudakan di kediamannya barangkali tak akan terungkap. Tanpa OTT terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Karomani, tak akan terungkap juga soal celah kecurangan pada sistem penerimaan mahasiswa di kampus negeri.  Sementara OTT terhadap hakim agung Sudrajad Dimyati kemudian membuka kotak Pandora soal dugaan mafia kasus di Mahkamah Agung yang sebelumnya hanya tercium baunya saja.

Baca juga : Luhut Kritik OTT KPK, Hamdan Zoelva : Korupsi Jangan Ditoleransi

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menegaskan, kejahatan korupsi sejatinya mesti mendapat atensi tinggi. Salah satunya caranya tak menoleransi tindakan korupsi dengan dalih apapun. "Terhadap tindakan korupsi seharusnya dilakukan zero toleransi atau tidak ada toleransi," kata Hamdan kepada Republika, Selasa (20/12/2022). 

Ia khawatir korupsi bakal dianggap lazim di masyarakat tanpa ada tindakan tegas seperti OTT ala KPK.  "(korupsi) Pada akhirnya akan merusak sendi-sendi kehidupan negara, merusak pelayanan publik, merusak rasa keadilan yang pada akhirnya menjadi ancaman bagi lntegritas negara," ujar Hamdan. Menurutnya, tindakan OTT yang dilakukan oleh KPK justru seharusnya diganjar apresiasi, bukan kritikan. 

photo
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. - (Prayogi/Republika.)

Di sisi lain, Hamdan menyebut digitalisasi tentu sangat baik bagi efisiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Ia pun sepakat bahwa digitalisasi akan memperkecil hingga menutup ruang untuk korupsi.

"Karena itu pemerintah harus cepat mengembangkan dan melakukan digitalisasi urusan pemerintahan, khususnya pelayan publik dalam semua bidang. Tetapi karena sedang melakukan digitalisasi bukan halangan untuk melakukan OTT," ucap Hamdan. 

Baca juga : Soal Pemberantasan Korupsi, Eks Pegawai KPK Minta Menko Luhut Belajar Lagi

Sedangkan penyidik senior yang disingkirkan dari KPK, Novel Baswedan, menekankan bahwa penggunaan teknologi yang canggih tidak serta merta dapat mencegah terjadinya rasuah. Sebab, ia menyebut, banyak modus korupsi yang dilakukan untuk 'mengakali' digitalisasi.

"Contoh soal e-katalog, ternyata banyak modus korupsi dilakukan dengan 'mengakali' sistem e-katalog. Begitu juga dengan digitalisasi sistem pengawasan. Faktanya hanya elektronisasi saja, tidak dilakukan digitalisasi," jelas dia.

Novel pun mengingatkan bahwa korupsi seharusnya dilihat sebagai masalah yang serius. Ia berharap agar para pejabat lebih peduli untuk ikut membasmi praktik rasuah. 

"Kita semua tentu berharap pejabat-pejabat negara melihat korupsi itu sebagai masalah serius. Tidak baik kemudian tidak peduli atau permisif terhadap praktik korupsi. Apakah masih belum bisa memahami dampak dari korupsi yang begitu besar?". 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement