REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapan tantangan industri perbankan pada tahun depan. Hal ini mengingat bayang resesi global sudah terlihat pada 2023 dan kemungkinan berlanjut tahun selanjutnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, adanya berbagai tantangan pada tahun depan, OJK akan fokus program kerja yang sudah dirancangnya. OJK misalnya melakukan penguatan organisasi dan sumber daya manusia dalam pengawasan menggunakan teknologi atau supervisory technology.
“Tantangan pertama, yaitu respons dari kebijakan pascapandemi Covid-19. Sebagai regulator, OJK perlu mempertimbangkan pemulihan dari scarring effect dan cliff effect akibat pandemi," ujarnya, Jumat (23/12/2022).
Kedua, tantangan yang akan dihadapi berupa volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA). Pada tahun depan, menurutnya perbankan dihadapkan pada volatilitas harga hingga ketidakpastian rantai pasok global.
Ketiga, kekhawatiran adanya spillover effect atau fenomena ekonomi yang timbul akibat kebijakan. "Inflasi yang belum stabil, kemudian suku bunga tinggi, terus terjadi perlambatan ekonomi, serta kenaikan harga energi mesti diantisipasi perbankan," ucapnya.
Keempat, perkembangan teknologi. Menurutnya, pesatnya perkembangan teknologi seperti metaverse hingga kripto mesti disadari dengan kesiapan pada people process dan lainnya. Kelima, bisnis perbankan yang menuju keberlanjutan.
“Perubahan iklim menuntut berbagai industri termasuk perbankan harus seiring dengan prinsip keberlanjutan. Ini kemudian ditindaklanjuti dengan sejumlah kebijakan seperti nol emisi karbon,” ucapnya.
OJK juga gencar mendorong agar bank memenuhi ketentuan batas minimum modal inti Rp 3 triliun pada akhir tahun ini dan konsolidasi perbankan juga diperkuat. Kemudian, Peraturan OJK (POJK) terkait pengembangan sumber daya manusia perbankan sekaligus integritas industri jasa keuangan juga diperkuat melalui strategi anti-fraud.
Untuk menghadapi tantangan itu, OJK juga telah melakukan perpanjangan restrukturisasi kredit secara terbatas hingga 2024. Sebelumnya, aturan OJK menetapkan bahwa relaksasi kredit restrukturisasi berakhir pada 31 Maret 2023.
Lebih lanjut, OJK mengelompokkan sektor tertentu ke dalam tiga segmen, yakni segmen UMKM yang mencakup seluruh sektor, sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum dan beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar, yaitu industri tekstil dan produk tekstil serta industri alas kaki.
Meski begitu, OJK tetap optimistis kinerja perbankan masih moncer pada 2023. Pada asesmen rencana bisnis bank yang sudah dikompilasi pada tahun ini, diproyeksikan kredit pada 2023 akan tumbuh seluruh sektor dengan mesin utama pertumbuhan adalah sektor perdagangan besar dan eceran.
“Sektor industri pengolahan juga akan menjadi motor pertumbuhan kredit. Dari jenisnya, kredit modal kerja diperkirakan mendominasi permintaan pada tahun depan,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menambahkan perekonomian global yang memang tampaknya tidak mungkin terelakkan. “Karena perekonomian global sudah terlalu lama dibanjiri dana yang sangat besar dan biaya sangat murah untuk menghadapi kelesuan perekonomian terhadap pandemi dan bahkan sebelumnya di negara maju," ucapnya.
Menurutnya tantangan ini semakin besar, karena secara aturan bank sentral tidak memiliki kewenangan dua sisi sekaligus yakni menghadapi inflasi atau memberi stimulus ekonomi. "Karena bank sentral tugas utamanya menghadapi inflasi bukan menanggulangi kelesuan ekonomi," ucapnya.
Atas kondisi ini, Mahendra menyebutkan kebijakan stimulus ekonomi harus digerakkan oleh pemerintah. Sedangkan bank sentral terkonsentrasi inflasi. "Terjadi kevakuman aturan di negara maju. Mereka [bank sentral] mengendalikan moneter, tetapi stimulan ekonomi riil tidak ada," katanya.
Saat ekonomi global kesulitan menghalau resesi, Mahendra menjelaskan kondisi Indonesia berada jauh lebih baik. Dia menjelaskan semua analis baik dari dalam negeri, internasional, lembaga multilateral memperkirakan ekonomi Indonesia tetap tumbuh baik tahun depan dan tahun depannya.
Anomali ekonomi Indonesia dibandingkan negara maju ini, kata dia, karena negeri ini memiliki pasar dalam negeri dan pasar kawasan Asia Tenggara yang besar. Maka potensi ini harus dioptimalkan baik sisi konsumsi, investasi dan belanja pemerintah.
"Dalam konteks sektor riil, maka sumber pertumbuhan berasal dari pembangunan di Indonesia. Sumber pertumbuhan berasal dari daerah selain bonus demografi. Ini sumber pertumbuhan yang tidak ada saingannya yang membuat Indonesia kuat daya tahan dirinya," jelasnya.
Atas lahirnya sumber pertumbuhan ekonomi baru ini, OJK kata Mahendra, berfungsi memastikan stabilitas sistem keuangan, mengawasi industri dari kacamata prudential, transparansi, perlindungan konsumen, market conduct, juga mendorong stimulus dan membantu dari daerah.
Best Regards,