REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mendukung pemilihan legislatif (Pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Dia menjelaskan dua alasan mengapa sistem proporsional tertutup lebih baik dibanding proporsional terbuka.
Alasan pertama, sistem proporsional terbuka, yang diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019, sangat rumit pelaksanaannya. Kerumitan itu memberikan beban kerja berat kepada penyelenggara pemilu.
Sistem proporsional terbuka juga butuh biaya besar. "Pemborosan uang negara karena biaya yang besar tidak bisa dihindari," kata Hamdan lewat akun Twitter-nya, dikutip Sabtu (14/1/2023). Republika.co.id sudah mendapat persetujuan Hamdan untuk mengutip cuitannya ini.
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan. Kertas suara tentu berbeda-beda tiap daerah pemilihan karena harus memuat nama setiap caleg. Adapun pemenang kursi parlemen ditentukan oleh jumlah suara terbanyak.
Sedangkan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai. Karena itu, KPU tidak perlu membuat banyak versi surat suara lantaran surat suara di semua dapil sama. Pemenang kursi anggota DPR dalam sistem ini ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan.
Hamdan melanjutkan, dalam sistem proporsional tertutup, proses pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara menjadi lebih sederhana. Karena itu, biaya lebih murah dan prinsip demokrasi tetap bisa dipertahankan.
"Dengan perubahan sistem ke proporsional tertutup, memberi jalan bagi penyederhanaan penyelenggaraan pemilu yang sekarang seperti sebuah organisasi pemerintahan tersendiri dengan biaya luar biasa," kata Hamdan.
Alasan kedua, sistem proporsional terbuka terbukti gagal. Hamdan menjelaskan, penerapan sistem proporsional terbuka terbukti tidak memberikan dampak perbaikan bagi akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tidak juga mewujudkan akuntabilitas wakil rakyat, yang secara teori merupakan keunggulan sistem proporsional terbuka.
"Justru yang terbukti adalah kuasa uang dan oligarki menjadi lebih kuat. Hal itulah yang dikhawatirkan oleh para founding fathers/mothers bahwa sistem demokrasi liberal melanggengkan kekuasaan kapitalisme," kata mantan anggota DPR periode 1999-2004, yang terpilih lewat sistem proporsional tertutup itu.
Hamdan menjelaskan, kuasa uang dan oligarki menguat karena dua hal itu menjadi kekuatan utama untuk memenangkan pemilu dalam sistem proporsional terbuka. Ketergantungan kepada uang dan oligarki untuk menang ini selanjutnya membuat para anggota dewan bernafsu untuk mengembalikan modal ketika menjabat, yang pada akhirnya membuat banyak legislator terlibat kasus korupsi.
"Sistem proporsional terbuka yang melanggengkan oligarki, tidak memungkinkan untuk mewujudkan demokrasi dan keadilan ekonomi yang dicita-citakan oleh konstitusi," ujarnya.
Kendati begitu, Hamdan menyadari bahwa sistem proporsional tertutup punya kelemahan. Salah satunya adalah potensi dominasi elite partai menentukannya nomor urut caleg. Dia pun menawarkan solusi lanjutan, yakni mereformasi partai politik.
"Kekhawatiran atas dominasi partai dalam menentukan nomor urut harus diantisipasi dengan demokratisasi internal parpol, dengan menjadikan parpol sebagai badan hukum milik publik, bukan milik elite partai. Parpol harus transparan dan diaudit BPK," ungkapnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) kini sedang memproses gugatan uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka. Para penggugat, yang salah satunya kader PDIP, meminta hakim konstitusi memutuskan sistem proporsional terbuka melanggar UUD 1945, dan mengembalikan penggunaan sistem proporsional tertutup.
Gugatan uji materi ini belakangan menjadi 'bola panas' usai Ketua KPU ikut berkomentar. Delapan partai parlemen dan PSI mendukung sistem proporsional terbuka. Sedangkan PDIP dan Partai Bulan Bintang (PBB) mendukung sistem proporsional tertutup. Alhasil, sejumlah partai dari kedua kubu tersebut kini mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam sidang MK agar putusan hakim sesuai dengan keinginan kelompok masing-masing.
MK akan menggelar sidang lanjutan atas gugatan uji materi sistem pileg ini pada Selasa (17/1/2023) depan. Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan perkara itu, MK akan meminta keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait KPU.