REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo mengatakan, pihaknya telah tergabung dalam tim kelompok kerja (Pokja) terkait keadilan restoratif atau restorative justice bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Secara khusus, ia mendorong tak adanya praktik jual-beli peradilan pidana dalam penerapan keadilan restoratif.
"Tim pokja restorative justice peradilan pidana yang dibentuk oleh Menkopolhukam. Sebagai wadah koordinasi antarpengegak hukum agar adanya satu kesepahaman penerapan keadilan restoratif dalam peradilan pidana," ujar Hasto dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Senin (16/1/2023).
"LPSK berharap implementasi restorative justice tidak bergeser menjadi keadilan transaksional yang memberikan kesempatan bagi masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi atau kuat bisa membeli keadilan," sambungnya.
Dijelaskan lebih detail oleh Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi, biasanya penerapan keadilan restoratif diinisiasi oleh pelaku sebuah kasus. Di mana kemudian si pelaku akan melakukan komunikasi dengan aparat penegak hukum (APH).
"Kami perhatikan Pak, yang punya inisiatif RJ (restorative justice) itu biasanya dari pelaku, dan kemudian berkomunikasi dengan APH dan kemudian ke korbannya untuk kemudian mengikuti kemauan tersebut," ujar Edwin.
Penerapan keadilan restorative justice yang salah terjadi dalam kasus pelecehan sesama pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) pada 2019. Di mana pada 2020, para pelaku justru dibebaskan dengan alasan restorative justice.
"Pada Maret 2020, pelakunya dibebaskan dengan alasan restorative justice. Satu pelakunya yang masih lajang dinikahkan dengan korban, tapi itu dalam rangka untuk meniadakan pidana, jadi dalam prakteknya pernikahan itu tidak pernah ada," ujar Edwin.
Karenanya, LPSK mendorong adanya evaluasi penerapan keadilan restoratif oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hingga Mahkamah Agung (MA). Mengingat salah satu penyebabnya adalah perbedaan standar dalam pengaplikasiannya.
"Aturan di setiap lembaga ini berbeda-beda Pak, antara standar Polri, kejaksaan, maupun Mahkamah Agung. Sejauh ini yang paling rigid adalah Mahkamah Agung, paling rigid soal RJ itu Mahkamah Agung, sehingga agak sulit diotak-atik," ujar Edwin.
"Di kejaksaan agak lebih rigid karena mencantumkan pasal-pasal yang bisa di-restorative justice. Namun di kepolisian mungkin perlu ditinjau ulang," sambungnya.