REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Setiaji mengatakan, digitalisasi pada layanan kesehatan akan menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit. Setiaji mencontohkan, digitalisasi dapat menghemat biaya hingga Rp2 miliar setiap tahunnya pada rumah sakit tipe C.
Setiaji menjelaskan, biaya untuk rekam medis non-elektronik selama ini masih cukup besar. Mulai dari biaya kertas hingga tenaga kesehatan, dimana harus melakukan pencatatan berulang kali.
"Padahal, anggaran tersebut bisa dikonversi untuk pembuatan sistem yang biayanya jauh lebih murah. Karena untuk membangun sebuah sistem, rumah sakit tidak harus membangun infrastrukturnya," kata Setiaji dalam webinar yang diselenggarakan Katadata dan Dell Indonesia, bertajuk ‘Building The Healthcare Of The Future’, Kamis (19/1/2023).
Dia mengatakan, adanya digitalisasi membuat layanan kesehatan menjadi mudah. Mulai dari mempersingkat waktu tunggu pasien ketika melakukan pendaftaran di rumah sakit, hingga mempermudah jangkauan layanan kesehatan pasien di manapun berada.
“Dari sisi pelayanan akan lebih cepat. Kita (pihak rumah sakit) tidak perlu lagi menginput data berulangkali. Lalu, digitalisasi membuat pasien bisa langsung mendapatkan rekam medisnya atau hasil pemeriksaanya,” ujar dia.
Kendati demikian, lanjut dia, digitalisasi layanan kesehatan juga memiliki tantangan tersendiri. Rumah sakit yang sudah menjalankan digitalisasi sistem kebanyakan belum menyeluruh. Belum semua layanan di rumah sakit terkoneksi secara digital.
“Mungkin bagian depannya atau pendaftarannya saja online, tapi di belakangnya belum terhubung dengan masing-masing layanan seperti apotek, laboratorium, radiologi termasuk juga rawat inap,”kata dia.
Untuk mencapai digitalisasi pada layanan kesejagatan, lanjut Setiaji, pemerintah sudah menyiapkan regulasi. Mulai dari Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) hingga UU tentang Kesehatan, yang nantinya akan dijadikan omnibus dengan aturan-aturan pendukung lainnya.
Presiden Direktur Mayapada Hospital, Grace Tahir mengatakan, rumah sakit di Indonesia harus merujuk kepada sistem berlandaskan digitalisasi, terutama rekam medis pasien.
Saat ini, kata dia, Mayapada sedang bertransformasi untuk menjadi rumah sakit pintar atau smart hospital. Namun pada akhirnya, lanjut dia, yang harus dikerjakan rumah sakit atau layanan kesehatan harus kembali pada pengalaman pasien.
“Apapun yang kita kerjakan itu adalah untuk memberikan pengalaman pada pasien tersebut. Bahkan beberapa pengalaman dari rumah sakit Mayapada kita punya tagline adalah experience better care. Untuk kami, hal yang paling penting adalah pasiennya,” kata Grace.
Dia mengungkapkan, ada lima pilar yang sangat penting dalam sebuah pengalaman pasien. Pertama, koordinasi dan integrasi perawatan. Harus ada kolaborasi dan integrasi, serta bekerja dengan sangat baik untuk meningkatkan perawatan pasien.
Kemudian, pilar yang kedua adalah empati dari tim rumah sakit. Bukan hanya barisan depan yang berhubungan dengan pasien, tetapi orang yang bekerja di balik meja. Menurut dia, mereka yang bekerja di balik meja sering kali tidak langsung bertemu dengan para pasien, sehingga tidak memiliki rasa keterikatan kepada pasien.
“Setiap orang itu harus berempati kepada pasien. Walaupun kita bilang kita adalah rumah sakit pintar, walau pengobatan jarak jauh, ada robot yang punya mesin pencari, tapi pada akhirnya orang masih membutuhkan sentuhan manusia dan kontak langsung dengan petugas kesehatan,” ujarnya.
Ketiga yaitu informasi, komunikasi dan pendidikan, yang bukan hanya berlaku untuk pasien tapi juga untuk karyawan rumah sakit. Menurut Grace, informasi di antara komunikasi harus bisa bekerja untuk meningkatkan pelayanan yang berdampak pada pasiennya itu sendiri.
Keempat, lingkungan rumah sakit dan kenyamanan fisik untuk perawatan pasien. Seperti kebersihan, masalah kenyamanan, pencahayaan, hingga suasana.
Serta pilar yang kelima adalah akses dan daya tanggap. Menurut Grace, pada saat pandemi covid-19, akses tersebut bukan hanya masalah rumah sakit atau ketersedian tempat tidur, melainkan juga masalah akses kepada biaya dari kesehatan, obat-obatan, dan kepada petugas kesehatan. Bahkan hal sederhana seperti parkir, akses untuk mengetahui ke mana harus pergi.
“Jadi inilah lima pilar pengalaman pasien yang harus dijalankan sekalipun rumah sakit sudah menerapkan sistem digitalisasi,” ujar Grace.