REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- S&P Global Ratings memperkirakan penerbitan sukuk akan berkurang menjadi 150 miliar dolar AS pada 2023, dengan peningkatan risiko lebih lanjut. Ada tiga faktor menjelaskan perkiraan tersebut.
Pertama, dunia dinilai semakin terbiasa dengan likuiditas global yang lebih mahal. Inflasi tinggi mendorong bank sentral utama mempercepat kenaikan suku bunga.
Hal itu telah mengurangi likuiditas global dan membuatnya lebih mahal. Penghindaran risiko investor juga meningkat, dengan segmen utama pasar modal misalnya penerbit kelas spekulatif mengalami aktivitas yang jauh lebih rendah pada 2022 dibandingkan 2021.
"Pasar sukuk, sebagai komponen pasar modal global, tidak kebal terhadap risiko ini. tren. Kita mungkin melihat beberapa kenaikan dalam aktivitas jika tren inflasi turun secara berkelanjutan dan bank sentral memperlambat laju kenaikan suku bunga mereka," ujar S&P seperti dilansir Zawya, Senin (23/1/2023).
Dijelaskan, emiten telah mengurangi kebutuhan pembiayaan. Harga minyak yang tinggi telah meningkatkan neraca beberapa emiten di negara-negara inti keuangan Islam. Apalagi di beberapa negara, khususnya Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA), siklus investasi baru saja berakhir.
Di tempat lain, di mana visi transformasi pemerintah sedang dilaksanakan seperti Arab Saudi, S&P berharap beberapa korporasi memukul pasar sukuk karena sistem perbankan tidak akan mampu menyerap semua investasi.
"Kami juga memperkirakan pemerintah Saudi akan terus menerbitkan sukuk dalam mata uang lokal untuk mengembangkan pasar modal lokal, meskipun tekanan baru-baru ini pada likuiditas bank menghasilkan aktivitas yang lebih rendah dari 2021," ujar mereka.
S&P menuturkan, ketidakpastian regulasi masih tinggi. Sukuk lebih kompleks dan memakan waktu dibandingkan obligasi konvensional. Maka, emiten baru terutama mengambil jalur syariah karena berharap dapat meningkatkan basis investor mereka dibandingkan dengan transaksi konvensional murni.
Ketidakpastian peraturan dinilai tetap tinggi dan berada dalam keseimbangan yang rapuh antara menjadikan sukuk sebagai instrumen pendapatan tetap dan dorongan ulama syariah agar lebih banyak pembagian keuntungan dan kerugian.
"Dalam pandangan kami, jika sukuk kehilangan karakteristik pendapatan tetapnya sambil menambahkan risiko yang signifikan dibandingkan dengan obligasi, sukuk akan menjadi pilihan yang kurang menarik, mengurangi prospek pasar," jelas mereka.
Faktor kedua, sukuk keberlanjutan semakin populer. Terlepas Terlepas dari keselarasan alami antara keuangan Islam dan keuangan berkelanjutan, penerbitan sukuk berkelanjutan tetap terbatas, meski meningkat. Dari hijau ke sosial, mereka memperkirakan akan melihat volume yang lebih tinggi karena emiten memenuhi permintaan investor dan negara-negara inti keuangan Islam berupaya mengurangi jejak karbon mereka.
Banyak dari negara-negara ini sedang mengembangkan dan menerapkan strategi untuk transisi ke ekonomi yang lebih hijau, yang dapat menyiratkan potensi pertumbuhan penerbitan sukuk hijau di masa depan.
"Kami berharap melihat lebih banyak aktivitas di ruang ini karena emiten memanfaatkan minat investor global. Selain itu, namun kurang terlihat, aspek sosial keuangan Islam memiliki daya tarik karena dampak ekonomi dari berbagai guncangan politik/geopolitik terus melanda populasi di beberapa negara," jelasnya.
Faktor ketiga menurut S&P yakni digitalisasi masih jauh. Di ruang digital, mereka melihat aktivitas yang lebih konvensional daripada Islami. Dapat dikatakan, ini langkah yang diperlukan karena pasar konvensional secara tradisional memimpin pasar Islam.
Hanya saja, bahkan ketika perusahaan telah mencoba mengembangkan infrastruktur yang diperlukan, pengambilan emiten dan investor tampak terbatas. Bagaimana pun, kami percaya sukuk digital dapat memberikan cara yang lebih cepat dan lebih murah bagi emiten agar memanfaatkan pasar keuangan Islam karena terbatasnya jumlah perantara yang terlibat.
Manfaatnya juga dapat mencakup peningkatan keamanan transaksi, ketertelusuran, dan integritas, yang selanjutnya dapat memperkuat kepatuhan terhadap syariah. Hanya saja, hal ini mengasumsikan tersedianya teknologi yang andal, kesiapan kerangka hukum untuk mengakomodir instrumen-instrumen tersebut, dan adanya dokumen hukum standar yang dapat dijadikan template.
Lalu mengurangi waktu, biaya, dan persyaratan volume penerbitan minimum dengan cara ini dapat membuka pasar sukuk untuk lebih banyak penerbit. Meski begitu, investor sukuk digital dinilai akan tetap menanggung risiko tradisional, termasuk pasar kredit dan risiko likuiditas.
"Mereka juga akan terpapar risiko operasional yang lebih tinggi dari stabilitas teknologi dan risiko dunia maya dan membutuhkan sarana untuk bertransaksi secara digital, misalnya koin Islami yang stabil atau mata uang digital bank sentral. Walau demikian, kami memperkirakan akan melihat lebih banyak transaksi digital pada 2023," jelas S&P.