REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tak terkejut atas isu "gerakan bawah tanah" dalam kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) dengan terdakwa Ferdy Sambo. Isu ini awalnya dibawa ke permukaan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menjelaskan, seseorang yang sedang dalam masalah hukum selalu berupaya meloloskan diri. Ini berlaku pula bagi Ferdy Sambo yang pernah menyandang status Irjen Polisi.
"Ketika Saudara FS dituntut seumur hidup, kami tidak heran jika ada gerakan di bawah tanah untuk meringankan vonis hukumannya," kata Poengky kepada Republika, Selasa (24/1).
Poengky menyebut, Ferdy telah mengeluarkan berbagai "siasat" selama kasus ini berjalan. Pertama, Ferdy telah melakukan kebohongan dalam "insiden tembak menembak", dilanjutkan dengan obstruction of justice.
Tetapi, ketika bukti-bukti di lapangan tidak match dengan kebohongannya, Ferdy lantas lanjut dengan melakukan perlawanan saat sidang kode etik yang memutuskan PTDH. Bahkan, Ferdy sempat mengajukan gugatan ke PTUN, meski akhirnya ditarik.
"Jadi selalu berupaya menggunakan segala macam cara untuk bisa lolos," ujar Poengky.
Poengky juga mengamati upaya Ferdy untuk lolos dari jerat hukum berlanjut dalam persidangan kasus Brigadir J. Ferdy coba memainkan skenario guna menyalahkan anak buahnya atas kematian Brigadir J.
"Nah, di persidangan pidana untuk menghindari hukuman berat, tidak mengherankan jika yang bersangkutan melakukan upaya-upaya mengelak, termasuk bersikeras menyatakan menerintahkan Eliezer untuk 'hajar', padahal berdasarkan keterangan Eliezer, perintah FS 'tembak!', bukan 'hajar'," ucap Poengky.
Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD mengendus "gerakan bawah tanah" yang berupaya memengaruhi vonis terhadap Ferdy Sambo dkk di kasus pembunuhan Brigadir J. Mahfud MD menjamin melakukan berbagai langkah guna menjaga independensi peradilan. Dalam kasus ini, Ferdy Sambo dituntut hukuman seumur hidup.