REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sunarso menyatakan, perseroan sudah menyiapkan empat strategi guna merespons sekaligus menghadapi ketidakpastian ekonomi tahun ini. Pertama, jika perekonomian pulih dan angka inflasi baik, namun kualitas pinjaman kredit memburuk, perusahaan akan memantau kualitas pinjaman secara intensif.
Lalu, mempertahankan kemampuan bank atau coverage ratio yang tinggi, berupaya tumbuh secara selektif, serta mengoptimalisasikan penghapusan adat write-offs, agar angka kesembuhan lebih tinggi. "Kalau situasi seperti itu, penting kita melakukan secara intensif pemantauan kualitas pinjaman. Kolektivitas kredit harus dipantau, dari sinilah bisa dimaklumi kenapa OJK memperpanjang kebijakan relaksasi," ujar Sunarso dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR yang dipantau secara virtual, Selasa (24/1).
Kedua, kata dia, bila perekonomian mulai pulih dengan inflasi terkendali, serta kualitas pinjaman yang membaik, maka BRI akan melakukan Loan Portofolio Guideline (LPG) atau strategi yang bertujuan mengarahkan ekspansi bisnis ke berbagai sektor industri yang prospektif dengan kualitas kredit baik lebih mengendur. Bank pelat merah itu pun bakal menurunkan rasio kesembuhan, enhance risk-pricing model demi meningkatkan daya saing produk, serta optimalisasi write-offs, supaya recovery rate lebih tinggi.
Berikutnya, ketiga, jika ekonomi tetap stagnan, inflasi naik, dan kualitas pinjaman memburuk, perseroan akan berupaya tumbuh terbatas, pengaturan LPG yang ketat, mempertahankan coverage ratio tinggi, pemantauan kualitas pinjaman yang intensif, serta simulasi dan stress test secara berkesinambungan. "Mungkin sepekan sekali, sebulan sekali kita lakukan stress test itu. Kalau kondisi memburuk kita sudah tahu antisipasi seperti apa," jelas Sunarso.
Keempat, lanjutnya, bila ekonomi stagnan tapi inflasi terkendali dan kualitas pinjaman membaik, perseroan akan tumbuh secara selektif. Kemudian, LPG diatur secara moderat, mempertahankan coverage ratio yang tinggi, pemantauan kualitas pinjaman intensif, juga simulasi dan stress test secara berkesinambungan.
Pada kesempatan itu, Sunarso turut menuturkan, tahun ini tren industri perbankan Indonesia akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya bonus demografi penduduk, menurutnya tren jumlah penduduk usia produktif akan meningkat mencapai 64 persen pada 2030.
Lalu, perubahan perilaku nasabah yang cenderung melakukan transaksi digital. Pembayaran transaksi digital pun meningkat lebih dari 30 persen, sedangkan transaksi tunai turun tinggal 10 persen.
Kemudian, implementasi Environmental, Social, and Governance (ESG). Menurutnya, perhatian investor terhadap aspek ESG berpengaruh terhadap perubahan tata kelola dan bisnis perbankan.
Selanjutnya, low interest rate environment. "Tren penurunan credit yield berdampak pada NIM (Net Interest Margin) yang semakin tertekan. Kalau kita lihat di 2010 itu NIM bisa lebih 10 persen tapi 2022 ini hanya sekitar 6 persen, sehingga saya pikir bank perlu memperluas fungsi intermediasi,” tuturnya.
Berikutnya, utilisasi data dan teknologi akan semakin dominan. Penggunaan data analitik mempercepat proses bisnis credit underwriting dan marketing. Terakhir, lanjut Sunarso, kompetisi dengan financial technology (fintech).
“Jadi persaingan yang semakin ketat. Ini seiring hadirnya pemain-pemain nonbank seperti fintech," kata dia.