REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Zahrotul Oktaviani
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, rencana kenaikan biaya ibadah haji merupakan hal yang wajar. Sebab, jika kebijakan itu tidak diambil, nilai manfaat pada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) akan habis.
Adapun nilai manfaat, yakni semacam 'subsidi' yang dikucurkan oleh BPKH. Sehingga biaya haji yang ditanggung oleh jemaah menjadi lebih murah.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan, pada 2022 terbit Keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan besaran biaya haji yang harus dibayarkan jemaah atau Bipih dari embarkasi Aceh hingga Makassar rata-rata sebesar Rp 39,8 juta per orang. Saat itu, total biaya penyelenggaraan haji untuk setiap jemaah adalah Rp 81,7 juta.
"Sehingga selisihnya yaitu Rp 41,9 juta ditanggung dari nilai manfaat. Ini artinya 48 persen ditanggung oleh jamaah dan 52 persen dari nilai manfaat hasil dari pengusahaan BPKH," kata Ghufron dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/1/2023).
Tidak berhenti di situ, sambung dia, dua pekan sebelum keberangkatan jamaah, ternyata pihak Arab Saudi kembali menaikkan biayanya. Sehingga biaya operasional penyelenggaraan haji membengkak menjadi Rp 98,3 juta per orang.
Pemerintah pun kemudian menerbitkan Keppres Nomor 8 Tahun 2022 yang menyatakan kucuran besaran nilai manfaat dari BPKH bertambah untuk memenuhi biaya operasional ibadah haji. Hal ini membuat BPKH harus menanggung sekitar 59-60 persen dari total biaya haji, sedangkan jemaah menanggung sebesar 40 persen. Sebelum biaya operasional haji di Arab naik, lembaga itu hanya harus mengeluarkan Rp 4,2 triliun (kemudian) menjadi Rp 5,4 triliun.
"Kondisi ini jika diteruskan tinggal menunggu waktu, saatnya dana BPKH akan habis nilai manfaatnya, karena telah terforsir untuk menutupi biaya jamaah haji yang telah berangkat," ungkap Ghufron.
"Siapa yang rugi, tentu bukan yang telah berangkat tetapi jamaah yang belum berangkat karena ia telah menanggung biaya jamaah yang telah berangkat karena nilai manfaat pengelolaan haji diambil secara over (berlebihan) oleh yang sebelumnya," tambahnya menjelaskan.
Menurut Ghufron, usulan kenaikan biaya haji yang disampaikan oleh Kementerian Agama beberapa waktu lalu pun wajar. Sebab, menurutnya, jika kenaikan tidak dilaksanakan, akan merugikan jemaah yang belum berangkat menunaikan ibadah haji.
"Hal inilah yang perlu kita semua ketahui sehingga tidak kemudian menilai biaya haji dinaikkan kemudian membebani jamaah secara sesenang wenang. Karena sebaliknya jika tidak dinaikkan, maka yang dirugikan adalah jamaah yang belum berangkat untuk (menanggung nilai manfaat yang over) yang dipakai oleh yang sebelumnya," jelas dia.
Sebelumnya, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan juga menyampaikan hal yang sama. Pahala mengatakan, saat ini nilai manfaat yang ada di BPKH hanya berjumlah sekitar Rp 15 triliun.
“Sekarang hanya Rp 15 triliun kurang lebih nilai manfaat yang ada di BPKH,” kata Pahala dalam konferensi pers di KPK, Jumat (27/1/2023).
Dia menyebut, kondisi ini pun diikuti dengan belum adanya regulasi setingkat undang-undang yang mengatur besaran dana yang harus dikucurkan oleh BPKH dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji.
Oleh sebab itu, Pahala menilai, pentingnya segera dilakukan harmonisasi antara Undang-Undang Tentang BPKH dan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Nantinya besaran nilai manfaat yang mesti dikucurkan oleh BPKH untuk setiap jemaah haji bakal ditentukan dalam harmonisasi tersebut.