Kamis 09 Feb 2023 21:26 WIB

Komisioner KPU Ungkap Kelemahan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup Pemilu

MK pada Kamis ini kembali menggelar sidang uji materi Pasal 168 UU Pemilu.

Rep: Febryan A/ Red: Andri Saubani
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik menilai, baik sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup dalam pemilu memiliki kelemahan. (ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik menilai, baik sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup dalam pemilu memiliki kelemahan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner KPU RI Idham Holik menyebut, pemilihan legislatif (Pileg) menggunakan sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup sama-sama punya kelemahan. Mahakam Konstitusi (MK) diketahui kini sedang memproses gugatan terkait sistem pileg ini untuk menentukan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka, atau tertutup. 

Idham mengatakan, kedua sistem tersebut punya kelemahan masing-masing ihwal pendanaan. Kelemahan sistem proporsional terbuka adalah maraknya politik uang atau praktik jual beli suara pemilih. Alhasil, calon anggota legislatif (caleg) harus mengeluarkan biaya besar. 

Baca Juga

"Sekarang pertanyaannya, apakah sistem proporsional tertutup bebas dari politik uang? Tidak juga menurut saya," kata Idham dalam sebuah diskusi daring, Kamis (9/2/2023). 

Dalam sistem proporsional tertutup, kata Idham, ada persoalan candidacy buying. Para caleg harus memberikan uang kepada elite parpol agar mendapatkan nomor urut teratas. Hal ini pada akhirnya juga membuat caleg harus mengeluarkan biaya besar. 

"Kita tahu isu candidacy buying ini juga sempat mengemuka di setiap kali menjelang pemilihan kepala daerah. Saya pernah membaca beberapa hasil penelitian dari lembaga-lembaga NGO berkaitan dengan candidacy buying di Pilakda," ujar Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPI RI itu. 

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. 

Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019. 

Menurut Idham, sistem proporsional terbuka punya kelamaan lain, yakni mendorong caleg untuk mengampanyekan diri sendiri atau biasa dikenal dengan istilah personalisasi politik. Para caleg tidak mengampanyekan program sebagaimana diamanatkan UU Pemilu. 

"Kita bisa lihat bagaimana poster baliho di jalan-jalan, tempat terbuka itu wajah caleg lebih besar daripada logo partai," kata Idham. Alhasil, metode kampanye ini membuat pemilih mendasarkan pilihannya pada personal caleg, bukan pada program yang ditawarkan. 

Dari sisi desain surat suara, lanjut Idham, sistem proporsional terbuka lebih kompleks dan lebih besar ukurannya. Sebagai informasi, surat suara dalam sistem proporsional terbuka harus memuat identitas parpol dan nama-nama caleg. Selain itu, desain surat suaranya berbeda antar daerah pemilihan karena calegnya juga berbeda. 

Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, desain surat suaranya lebih sederhana karena hanya memuat identitas parpol. Selain itu, satu desain surat suara bisa digunakan di semua dapil dan semua tingkatan pemilihan, baik untuk pemilihan DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, maupun DPR RI. 

"Sudah pasti dalam sistem pemilu proporsional tertutup desain surat suaranya simpel, sederhana. Cukup memuat lambang atau logo, nama serta nomor urut partai politik," kata Idham. 

Meski memahami kelemahan masing-masing sistem tersebut, Idham menegaskan bahwa KPU tidak memihak atau mendukung sistem tertentu. "Kami menegaskan bahwa kami ini adalah pelaksana UU Pemilu. Apa pun sistem pemilu yang dimuat dalam UU Pemilu ataupun yang diputuskan Mahkamah Konstitusi, kami akan laksanakan," ujarnya. 

MK menggelar sidang lanjutan perkara uji materi Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka, pada hari ini, Kamis (9/2/2023). MK akan bersidang kembali pada pekan depan dengan agenda sama, yakni mendengarkan keterangan pihak terkait. 

Gugatan uji materi ini dilayangkan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP. Pada intinya, mereka meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. 

Sementara sidang bergulir, partai politik parlemen terpecah ke dalam dua kubu. Kubu pendukung sistem proporsional terbuka terdiri atas delapan parpol parlemen, mulai dari Golkar, Gerindra, PKB, hingga PKS. Sedangkan pendukung sistem proporsional tertutup hanya PDIP.

 

photo
Ilustrasi Jokowi dan Pemilu - (republika/mardiah)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement