REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi yang diberlakukan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) ibarat menggaruk bagian yang tidak gatal. Sebab, P2G menilai kebijakan tersebut tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di NTT.
"Masalah pendidikan di NTT ini sangat banyak," ujar Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, kepada Republika, Selasa (28/2/2023).
Masalah-masalah itu, di antarnya NTT menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, IPM NTT peringkat ke-32 dari 34 provinsi, masih banyak kelas di sekolah dalam kondisi rusak, lebih dari 50 persen SD, SMP, dan SMK belum dan berakreditasi C. Belum lagi ribuan guru honorer di NTT diberi upah jauh di bawah UMK/UMP, yakni berkisar antara Rp 200 ribu-Rp 750 ribu per bulan.
Satriwan menilai, semua kondisi tersebut menunjukkan tidak ada korelasi antara masuk sekolah pukul 5 pagi dengan upaya peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM), menurunkan stunting, memperbaiki bangunan ruang kelas atau sekolah, memperbaiki akreditasi atau kualitas sekolah, dan meningkatkan kesejahteraan guru honorer.