REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh menyoroti kondisi hukum Indonesia saat ini yang seakan melupakan asas kepantasan dan kepatutan. Padahal negara ini memiliki Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berperan sebagai lembaga yudikatif tertinggi.
"Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, yang berperan sebagai payung yang paling di atas untuk menjaga posisi peran daripada peradilan, mulai dari tingkat bawah, menengah, tinggi, dan seterusnya, tapi kita berhadapan dengan realita yang ada," ujar Surya Paloh dalam pidatonya di Silaturahmi Nasional (Silatnas) ke-3 Badan Advokasi Hukum Partai Nasdem, Jumat (10/3).
"Banyak keputusan yang mengoyak kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Hukum seakan-akan milik mereka yang punya kekuatan lebih," sambungnya.
Jika asas kepatutan dan kepantasan dalam menjalankan pembangunan hukum tak dijaga, hasilnya adalah semakin tingginya korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia. Lembaga sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun dinilai tak dapat mencegah hal tersebut semakin merebak di bangsa ini.
"Semakin kita lahirkan gerakan antikorupsi, bahkan melahirkan lembaga extraordinary KPK, indeks korupsi kita bukan semakin berkurang, bukan hanya indeksnya, tapi kualitasnya semakin berkurang kuantitas, kualitas. Ini yang harus kita sadari," ujar Surya Paloh.
Prinsip keadilan dalam hukum juga dikritiknya, karena tak lagi diperankan secara baik. Saat hukum seakan hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan saja.
Dia bahkan menyindir percumanya belajar hukum. Karena pada saat yang bersamaan, akan lebih menentukan orang yang memiliki kuasa ketimbang ilmu hukum yang sudah dicari
"Boleh percaya atau tidak, satu teman yang berkuasa jauh lebih menentukan daripada 1.000 literatur yang kita baca selama 10 tahun dalam menyelesaikan perkara. Ini yang kita hadapi, suka atau tidak suka," ujar Surya Paloh.
Suka tidak suka, jelas Surya Paloh, hal tersebut tengah terjadi dalam proses pembangunan hukum di Indonesia. Saat banyak pihak mengesampingkan nalar dan berhadapan dengan kondisi objektif.
"Untuk apa kau baca nalar itu, referensi begitu banyak, kau cuma perlu memukul-mukul bahunya saja. Nah kita di sinilah istilahnya dalam perjalanan kehidupan dialektika dan romantikanya kehidupan ini," ujar Surya Paloh.