Oleh : A Fahrur Rozi, aktif di Distrik HTN Institute Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Awal Ramadhan diwarnai dengan kegaduhan publik soal nasib buruk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja yang akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 21 Maret 2023.
Sejak Pemerintah menerbitkan Perppu Ciptaker dengan dalih ‘kegentingan yang memaksa’ pada Desember lalu, publik harap-harap cemas kepada DPR sebagai harapan terakhir.
Keresahan publik yang sejak lama tertahan akhirnya meledak ketika DPR mengetok palu pengesahan Perppu Ciptaker menjadi undang-undang. Ekspresi kecewaan dan kemarahan rakyat banyak ditemui di media sosial, mulai yang bentuknya sindiran hingga blak-blakan.
Sejatinya, pengaturan Cipta Kerja dalam produk perundang-undangan adalah hal yang dipaksakan, tidak an sich. Hal itu bisa dilihat dari jejak perjalanan pengaturan Ciptaker yang meniscayakan problem dalam setiap agendanya, mulai metode yang dipakai, alur pembentukan, hingga pengesahan.
Saat muncul wacana rancangan undang-undang (RUU) omnibus law pengaturan ketenagakerjaan dan entitas pekerja buruh dari perundang-undangan yang ada, hal itu kemudian memunculkan persoalan legisme prosedur beracara. Tidak ambil pusing dengan legalitas beracara, DPR tetap paksa RUU yang ada dilanjut hingga pengesahan.
Alhasil, pada 2020 Mahkamah Konstitusi (MK) menerima laporan uji formil UU Ciptaker. Dengan alasan kecacatan formil karena tidak ada legalitas metode kompilasi atau kodifikasi dalam pembentukan hukumnya ( rechvorming), akhirnya MK memutus UU Ciptaker inkontitusional bersayarat. MK memberikan waktu kepada Pemerintah dan DPR melakukan perbaikan formil sebelum UU Ciptaker kembali sah secara konstitusional.
Alih-alih melakukan perbaikan terhadap catatan dari MK; mencukupi meaningful participation dan metode omnibus law, Pemerintah menempuh jalan pintas dengan menjadikan kegentingan memaksa sebagai dalih permainan single executive menerbitkan Perppu Ciptaker. Tidak ada alasan pembenaran secara doktrin dan tata berhukum kita ketika melihat bagaimana Perppu Ciptaker diterbitkan.
Pertama, tidak memenuhi syarat kegentingan sebagaimana batasan yang termuat pada Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 tentang indikator keabsahan suatu Perppu diterbitkan.
Kedua, bentuk relasi yang timpang antara calon penanam modal dan pekerja buruh. Sejumlah pasal-pasal jelas menegasikan kesataraan hak yang otonom dan eksploitasi besar-besaran untuk kerja sistem human capital.
Baca juga: Pujian Rakyat Negara Arab untuk Indonesia Terkait Piala Dunia U-20, Terhormat!
Dalam taraf berlanjut, kecacatan berhukum yang dipertontonkan itu sama sekali tidak menjadi pertimbangan yuridis dari DPR sebagai lembaga yang berhak mengesahkan.
Mereka ngotot-ngototan kendati hal itu menciderai nilai demokrasi, norma konstitusi, dan amanat reformasi. Akibatnya, momentum Ramadhan yang seyogyanya menjadi kesempatan untuk merajut ulang kesatuan, tindakan hukum pengesahan itu telah mewarnai Radaman dengan corak kegaduhan.
Demokrasi yang banal
Fenomena Perppu Ciptaker yang dipertontonkan kepada publik sebanarnya tidak ubahnya sebuah pertunjukan dari banalitas demokrasi saat ini. Ada dua episteme distruktif yang menggejala pada tubuh demokrasi di sini. Pertama adalah kemunculan klientelisme struktural, dan kedua adalah otoritarianisme politik.