Kamis 13 Apr 2023 03:56 WIB

Beda Tekanan yang Diterima AKBP Dody dan Bharada E Menurut Ahli Psikologi Forensik

AKBP Dody Prawiranegara dituntut 20 tahun penjara di kasus narkoba Teddy Minahasa.

Terdakwa kasus dugaan peredaran narkotika AKBP Dody Prawiranegara memberikan keterangan saat menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jakarta, Rabu (1/3/2023). Dalam perkara peredaran narkoba yang juga menjerat Irjen Teddy Minahasa, Dody dituntut hukuman 20 tahun penjara. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus dugaan peredaran narkotika AKBP Dody Prawiranegara memberikan keterangan saat menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jakarta, Rabu (1/3/2023). Dalam perkara peredaran narkoba yang juga menjerat Irjen Teddy Minahasa, Dody dituntut hukuman 20 tahun penjara. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Ahli psikologi forensik Reza Indragiri membandingkan tekanan yang diterima Dody Prawiranegara dari Teddy Minahasa dengan Richard Eliezer dari Ferdy Sambo. Semua berawal dari pengakuan Dody yang tidak kuasa menolak perintah Teddy untuk membawa sabu dari Sumatera Barat (Sumbar) ke Jakarta.

"Pembelaan diri semacam ini diistilahkan sebagai superior order defence (SOD). Pertanyaannya, seberapa meyakinkan SOD yang diajukan oleh DP? Sama persis dengan SOD yang diangkat Richard Eliezer?" kata Reza dalam keterangannya, Rabu (12/4/2/2023).

Baca Juga

Menurut Reza, posisi tekanan yang diterima Dody tidak sama dengan Richard Eliezer. Alasannya, mantan Kapolres Bukit Tinggi itu masih mempunyai kesempatan menolak perintah Teddy.

"Berbeda dengan Richard yang tidak kuasa menolak perintah Sambo untuk menembak rekannya, Yoshua Hutabarat," katanya.

Bahkan, kata Reza, Dody sempat mengaku menolak perintah Teddy lewat pesan singkat WhatsApp di depan majelis hakim. Itu semua memperlihatkan betapa klaim Dody Prawiranegara (DP) tentang SOD terlihat mengada-ada. Karena itu, pengujian setop sampai di sini.

"DP tidak patut berlindung sebagaimana Eliezer, karena situasi DP kontras dengan situasi Eliezer, titik," katanya.

Selain itu, Reza menilai tidak ada dampak ancaman ataupun hukuman yang akan diterima Dody kalau membantah perintah Teddy. Justru menurutnya, Doddy tidak mendapatkan hukuman apa pun saat menyampaikan ketidakberaniannya membawa sabu dari Sumatera Barat menuju Jakarta.

"Faktanya, saat DP menjawab 'Siap, tidak berani Jenderal...????', TM tidak menjatuhkan sanksi apa pun kepada DP," katanya.

Begitu pula ketika DP kembali berseberangan dengan atasannya di Bukittinggi. "Lagi-lagi tidak ada konsekuensi buruk yang DP alami," kata Reza.

Atas dasar ini, Reza menilai, tekanan yang diterima Dody tidak berat dan tidak layak dijadikan pertimbangan untuk membuatnya lepas dari jeratan hukum. Dody merasa menyesal sudah menuruti perintah Teddy yang jelas-jelas melanggar undang-undang pemberantasan narkotika itu.

Dalam pleidoinya, Dody juga mengaku tidak pernah sekalipun terlibat sebagai kurir sabu selama bertugas sebagai anggota Polri. Dia justru mengklaim telah mendapatkan banyak penghargaan atas pengungkapan kasus kriminal terutama peredaran narkoba selama bertugas sebagai polisi.

Dengan adanya kejadian ini, dia merasa tercoreng dan seluruh reputasi yang dia bangun sebagai polisi hancur. "Hal ini sudah cukup membuktikan bahwa apakah saya rela merusak karir dan pengabdian terbaik yang sudah diberikan dengan cara menjual narkoba sitaan," kata Dody.

Dalam perkara ini, Dody dituntut hukuman penjara 20 tahun dan denda sebesar Rp 2 miliar. Dody dituntut hukuman tersebut karena dinilai terbukti melanggar ketentuan berupa Pasal 114 ayat 2 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

"Menjatuhkan pidana terdakwa Doddy Prawiranegara selama 20 tahun dan denda sebesar dua miliar rupiah subsider 6 bulan penjara dikurangi masa tahanan," kata tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin Iwan Ginting SH saat membacakan tuntutan di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Senin (27/3/2023).

 

Ada beberapa hal yang memberatkan dan meringankan hukuman Dody menurut JPU. Salah satu yang memberatkan adalah Dody mengurangi tingkat kepercayaan publik terhadap penegakan hukum lantaran terlibat dalam kasus narkoba. Sedangkan yang meringankan, yakni Dody dianggap mengakui seluruh perbuatannya dan bersikap baik dalam persidangan.

JPU juga telah menolak pleidoi Dody. "Kami penuntut umum dalam perkara ini tetap berpendapat sebagaimana yang telah secara jelas dalam surat tuntutan yang kami bacakan pada 27 Maret 2023," kata Jaksa Arya Wicaksono saat membacakan replik atau respon untuk pleidoi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Rabu (12/4/2023).

Jaksa tetap dengan tuntutan bahwa Dody terlibat dalam peredaran sabu barang bukti hasil tangkapan Polres Bukit Tinggi. Jaksa juga memohon kepada hakim untuk menolak seluruh pleidoi Dody yang disampaikan pada persidangan sebelumnya.

"Memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memutuskan tetap pada surat tuntutan yang kami bacakan pada hari Senin tanggal 27 Maret tahun 2023," kata jaksa.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement