Kamis 11 May 2023 11:20 WIB

Ahli Ungkap Alasan Hukuman Dody Prawiranegara Pantas Diperberat

Pakar forensik sebut vonis Dody Prawiranegara Pantas diperberat karena tidak mengakui

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa kasus dugaan peredaran narkotika AKBP Dody Prawiranegara. Pakar forensik sebut vonis Dody Prawiranegara Pantas diperberat karena tidak mengakui
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus dugaan peredaran narkotika AKBP Dody Prawiranegara. Pakar forensik sebut vonis Dody Prawiranegara Pantas diperberat karena tidak mengakui

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, memandang hukuman terhadap eks Kapolres Bukit Tinggi Dody Prawiranegara (DP) pantas lebih berat ketimbang putusan Hakim. Dody terjerat kasus peredaran sabu bersama eks Kapolda Sumatra Barat, Teddy Minahasa. 

Dody divonis 17 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Vonis ini lebih ringan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta Dody dihukum 20 tahun penjara serta denda Rp 2 miliar.

Baca Juga

"Aih-alih sependapat dengan hakim, saya justru menangkap kesan kuat bahwa DP tidak mengakui perbuatannya. Karena dia tidak mengakui perbuatannya, hukuman terhadap DP patut diperberat," kata Reza dalam keterangannya pada Kamis (11/5/2023). 

Reza menyinyalir putusan hakim terlalu didasarkan pada pengakuan, bukan pembuktian. Padahal, menurut dia, pengakuan berpotensi besar mengganggu pengungkapan kebenaran dan menghambat proses persidangan. Ia berbeda tafsiran terkait dengan "mengakui perbuatannya" sebagai hal yang disebut hakim meringankan DP. 

"Selama persidangan, DP menyebut dia diperintah TM dan takut untuk menolaknya. Pada sisi itu, saya masih belum teryakinkan," ujar Reza. 

Alasan pertama, Reza menyebut dari perhitungan sabu menunjukkan bahwa sabu di Jakarta bukan merupakan sabu yang ditukar dengan tawas yang berasal dari Bukittinggi. Alasan kedua, dua kali DP mengaku menolak perintah TM, tapi tidak ada risiko buruk yang dia alami. 

"Jadi, ketakutan yang DP sebut itu tampaknya mengada-ada. Dalam bahasa psikologi forensik, superior order defence yang diangkat DP terpatahkan. Dan karena DP menolak, maka putus keterkaitannya dengan instruksi TM (sekiranya instruksi itu dianggap ada)," ujar Reza. 

Reza menyebut alasan berikutnya ialah DP terindikasi punya kepentingan untuk memperoleh uang guna mendongkrak karirnya di Polri. Ia menduga keterlibatan DP dalam peredaran narkoba merupakan caranya untuk memperoleh uang itu. Alasan keempat, pertimbangan hakim bahwa "DP tidak ikut serta menikmati hasil kejahatan" bukan karena keputusan atau sikap DP sendiri. 

"Tapi karena dia terlanjur diringkus Polda Metro Jaya (PMJ). Andai dia tidak ditangkap polisi, mungkin dia akan menikmati hasil kejahatan," ujar Reza. 

Reza juga menyayangkan kepolisian tak terang-terangan soal status DP apakah termasuk pengguna narkoba atau tidak. "PMJ tidak menyampaikan ke publik apakah DP juga menjalani tes urin dan bagaimana hasilnya: positif atau negatif," sebut Reza. 

Diketahui, DP terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan secara tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika jenis sabu yang diatur Pasal 114 Ayat (2) Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement