REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat menilai, PT Angkasa Pura II (AP II), yang merupakan pengelola 20 bandara, tepat dalam menjalankan transformasi bisnis di tengah pandemi Covid-19. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan AP II dalam mencetak laba bersih Rp 91,90 miliar pada 2022 di tengah pandemi.
Pada awal-awal pandemi, AP II masih mencatatkan kerugian Rp 2,43 triliun pada 2020 dan rugi Rp 3,79 triliun pada 2021. Laba bersih AP II ini didukung peningkatan bisnis non-aeronautika yang digenjot perseroan pada 2022.
Ekonom dan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Dr Toto Pranoto mengatakan, bisnis non-aeronautika memang dapat menjadi kunci sumber pendapatan bagi operator bandara. Terlebih, saat jumlah penumpang pesawat mengalami penurunan tajam seperti di tengah pandemi ini.
“Sudah tepat jika AP II fokus mengejar non-aeronautika pada saat pandemi kemarin. Dan diharapkan program transformasi saat ini dan ke depannya AP II juga bisa fokus juga ke sektor non-aeronautika dan mungkin ke depannya bisa melakukan inovasi dan terobosan agar bisa lebih mendongkrak income,” ujar Toto dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Senin (15/5/2023).
Toto mengatakan, bisnis non-aeronautika sudah seharusnya dikembangkan oleh para operator bandara. “Bisnis non-aero adalah strategi yang seharusnya sudah dikembangkan Angkasa Pura sejak masa lalu. Cuma memang kontribusi bisnis ini ke total pendapatan AP, baik di AP I maupun AP II selama beberapa tahun terakhir belum optimal,” kata dia.
Toto menuturkan, tidak optimalnya bisnis non-aeronautika membuat operator bandara kesulitan saat menghadapi situasi seperti pandemi, dan menyebabkan operator bandara mengalami kerugian. Selama ini, kata dia, operator bandara terlalu fokus pada bisnis aeronautika, yakni jasa pelayanan penumpang pesawat.
“Mengapa non-aeronautika tidak optimal selama ini? Karena AP terlalu fokus di pengelolaan penumpang. Padahal non-aeronautika bisa berkontribusi besar sebagai penyeimbang sumber revenue saat pendapatan bersumber penumpang mengalami penurunan tajam,” kata Toto.
Selain pemanfaatan aset, sumber bisnis non-aeronautika bisa berasal dari beragam lini bisnis semisal logistik atau kargo.
Sementara itu, pengamat penerbangan serta praktisi dan konsultan di industri aviasi Gerry Soejatman mengatakan, AP II juga melakukan efisiensi di bandara-bandara yang dikelolanya terutama di Bandara Soekarno-Hatta yang merupakan bandara terbesar di Indonesia.
“Contoh di Soekarno-Hatta, Terminal 1 masih hanya 1A yang buka, 1B dan 1C masih belum dibuka untuk penerbangan berjadwal, dan kalau tidak salah Terminal 1A dibuka baru di akhir kuartal II tahun 2022. Internasional pun hanya Terminal 3 selama pandemi dan Terminal 2F baru dibuka di akhir Kuartal II 2022,” ujar Gerry.
“Ini adalah langkah-langkah pemangkasan biaya oleh AP II selama pandemi, dan di bandara-bandara lain, jam operasi bandara dikurangi guna mengurangi biaya dan penambahan dalam fase pemulihan ini disesuaikan dengan peningkatan jumlah penumpang,” kata Gerry.
Adapun melalui keterangan resminya, Direktur Utama PT Angkasa Pura II Muhammad Awaluddin mengatakan, perseroan mendorong bisnis non-aeronautika dengan optimalisasi aset perseroan melalui tiga program: Asset Optimization Program (brown field asset), Asset Acceleration Program (asset under construction), dan Asset Utilization Program (green field asset).
Awaluddin mengatakan, strategi pemanfaatan aset dijalankan berhasil pada 2022, di mana pendapatan dari konsesi naik 28 persen dibandingkan 2021, lalu bisnis hotel naik 71 persen dan bisnis lounge meroket 224 persen.
Peningkatan pendapatan dari pemanfaatan aset ini berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan bisnis non-aeronautika.
Pada 2022, pendapatan bisnis non-aeronautika AP II tercatat Rp4,26 triliun atau lebih besar dibandingkan dengan bisnis aeronautika sebanyak Rp4,14 triliun. Adapun sumber pendapatan bisnis aeronautika sebesar 73 persen berasal dari jasa pelayanan penumpang pesawat.
“AP berhasil mengembangkan bisnis non-aeronautika, sebagaimana operator-operator bandara kelas dunia lainnya. Pendapatan terbesar AP II saat ini berasal dari bisnis non-aeronautika sehingga tidak hanya bergantung pada jumlah penumpang pesawat. Ini membuat AP II dapat lebih tahan terhadap kondisi seperti pandemi yang berdampak pada penurunan lalu lintas penerbangan,” ujar Muhammad Awaluddin.
Sepanjang 2022, AP II membukukan pendapatan Rp 8,41 triliun atau naik 54,55 persen dibandingkan 2021 sebanyak Rp 5,44 triliun.
Naiknya pendapatan ini membawa AP II mencetak laba usaha Rp 934,11 miliar pada 2022 dari sebelumnya rugi Rp 2,52 triliun pada 2021, dan lebih lanjut AP II berhasil mencetak laba bersih Rp 91,90 miliar pada 2022 dari sebelumnya rugi Rp 3,79 triliun pada 2021.