REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menyatakan, lurah dan camat merupakan ASN yang paling sering tidak netral dalam gelaran pemilu. Mereka dipolitisasi oleh para kandidat untuk kepentingan pemenangan. Praktik culas ini berpotensi terjadi kembali dalam gelaran Pemilu 2024.
Ketua KASN Agus Pramusinto mengatakan, berdasarkan hasil pengawasan pihaknya, lurah dan cama paling banyak melanggar aturan netralitas ASN. Mereka tidak netral dalam sejumlah pemilihan karena dipolitisasi oleh kandidat atau dengan sengaja melakukannya demi kepentingan tertentu.
"Camat menjadi jabatan administrator yang paling banyak melakukan pelanggaran netralitas dalam kurun waktu 2020-2023," kata Agus dalam webinar yang digelar KASN, Rabu (14/6/2023).
Adapun jenis pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh lurah dan camat adalah mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan (36,5 persen), kampanye/sosialisasi di media sosial seperti posting/like/komentar (20,1 persen), menghadiri deklarasi bakal calon/calon (15,8 persen), foto bersama calon/bakal calon (11,1 persen), dan menjadi peserta kampanye (7,4 persen).
Selain pelanggaran tersebut, lanjut Agus, para lurah dan camat juga berpotensi melakukan pelanggaran netralitas lainnya. Beberapa di antaranya adalah memobilisasi anak buahnya untuk mendukung salah satu kandidat, memengaruhi warga untuk memilih kandidat tertentu, menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan politik praktis, dan memolitisasi bantuan sosial (bansos) kepada warga.
Menurut Agus, sebagian lurah dan camat berlaku tidak netral karena dipolitisasi oleh para kandidat, terutama calon petahana. Ada dua alasan mengapa lurah dan camat merupakan ASN yang kerap dipolitisasi.
Pertama, seorang lurah dan camat memiliki akses langsung kepada warga dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Semakin baik citra mereka di mata warga, maka semakin besar pengaruh mereka untuk memobilisasi dukungan kepada kontestan tertentu.
"Hal ini tidak terlepas dari budaya patronasi sosial di kalangan masyarakat kita," kata Agus
Kedua, kewenangan dan bidang tugas lurah dan camat yang bersifat lintas sektoral di wilayah administrasinya seperti perizinan, penyaluran bantuan sosial, pembinaan organisasi masyarakat dan lain-lain.
"Kedua alasan ini membuat pejabat lurah dan camat berpotensi menjadi pendulang suara atau vote getter dalam pemilu dan pemilihan," ujarnya.
Agus menegaskan, dengan posisinya yang strategis itu, lurah dan camat "sering menjadi objek politisasi". Kepala daerah yang mencalonkan diri kembali alias petahana kerap merotasi jabatan lurah dan camat menjelang pemilu dan pemilihan. KASN menemukan sejumlah rotasi dilakukan atas dasar kepentingan elektoral.
"Sebagian pengangkatan dalam jabatan lurah dan camat tidak lagi berbasis kompetensi. Sebaliknya, kemampuan memobilisasi suara warga menjadi indikator utama," kata Agus.
Dia mengatakan, lurah dan camat yang menjaga sikap profesional dan enggan berpihak dalam gelaran pemilu biasanya akan mendapatkan konsekuensi. Kandidat terpilih, terutama kepala daerah, bisa saja "balas dendam" atau merotasi mereka dari jabatannya setelah pemilu usai.
"Karenanya, negara harus hadir untuk melindungi ASN yang netral (dalam gelaran Pemilu 2024). Instansi pusat yang memiliki kewenangan perlu mengambil kebijakan yang memastikan sikap profesional dan netral tidak berakibat buruk kepada ASN," kata Agus.