REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mendorong perbaikan sistem pemilihan umum (pemilu) karena kelemahan dalam sistem pemilu yang digunakan pada hari ini. Namun MK menyoroti agar perubahan sistem pemilu tak dilakukan mendadak.
"Dalam hal ini, jika ke depan akan dilakukan perbaikan terhadap sistem yang berlaku saat ini, pembentuk undang-undang harus mempertimbangkan beberapa hal," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang putusan MK yang menolak gugatan sistem Pemilu di gedung MK pada Kamis (15/6/2023).
Pertimbangan pertama, lanjut Saldi ialah tidak terlalu sering melakukan perubahan agar dapat diwujudkan kepastian dan kemapanan atas pilihan sistem Pemilu. Kedua, kemungkinan untuk melakukan perubahan harus tetap ditempatkan dalam rangka menyempurnakan sistem Pemilu yang sedang berlaku, terutama untuk menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraan Pemilu.
"Ketiga, kemungkinan perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilihan umum dimulai, sehingga tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi sebelum perubahan benar-benar efektif dilaksanakan," ujar Saldi.
Berikutnya, MK menegaskan potensi perubahan sistem pemilu tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sesuai Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. MK juga menekankan pentingnya menerapkan partisipasi publik yang bermakna.
"Dan apabila dilakukan perubahan tetap melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation)," ujar Saldi.
Diketahui, sidang perdana perkara sistem Pemilu dengan Nomor 114/PUU-XX/2022 itu digelar pada Rabu (23/11/2022) dan sidang terakhir pada Selasa (23/5/2023). Tercatat, MK menggelar 16 kali sidang sejak pemeriksaan pendahuluan sampai ke tahap akhir. Adapun MK memutuskan menolak gugatan tersebut pada hari ini.
Sepanjang sidang itu, MK menghadirkan berbagai pihak guna memberi keterangan yaitu DPR, Presiden, Pihak Terkait yang terdiri dari KPU, Fatturrahman dkk, Sarlotha Febiola dkk, Asnawi dkk, DPP Partai Garuda, Hermawi Taslim, Wibi Andrino, DPP PKS, DPP PSI, Anthony Winza Prabowo, August Hamonangan, Wiliam Aditya Sarana, Muhammad Sholeh, DPP PBB, Derek Loupatty, Perludem, Jansen Sitindaon. MK tak lupa menyimak keterangan para ahli yang diajukan Pemohon, Perludem, Derek Loupatty, Partai Garuda, dan Partai Nasdem.
Gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan oleh pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono beserta lima koleganya. Mereka keberatan dengan pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan eks wamenkumham Denny Indrayana sempat menyatakan ada kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2024 tertunda apabila MK memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai. Gugatan ini mendapat sorotan publik karena Denny mengaku mendapatkan informasi putusannya akan berupa proporsional tertutup.
Padahal tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Lewat putusan ini, MK sekaligus membantah bocoran putusan yang pernah dilontarkan Denny Indrayana tersebut.