Rabu 12 Jul 2023 19:32 WIB

Komisi IX: Alokasi Anggaran Kesehatan di RUU Kesehatan Berbasis Kinerja

Demokrat tolak UU Kesehatan mandatory spending kesehatan sebesar 5 persen

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi menjelaskan tiga alasan pihaknya menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang.
Foto: Dokpri
Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi menjelaskan tiga alasan pihaknya menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, mandatory spending atau pengeluaran wajib sebesar 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk sektor kesehatan dihapuskan dalam rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan. Kini, penganggaran sektor kesehatan dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan (RIBK).

Pemerintah pusat mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBN sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan (RIBK). Pengalokasiannya dengan berbasis kinerja.

Baca Juga

"Kita menyepakati bahwa penganggaran untuk persoalan kesehatan atau sektor kesehatan di tanah air memakai konsep penganggaran berbasis kinerja. Di mana nantinya melalui rencana di bidang kesehatan yang juga di UU ini diatur," ujar Melki di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/7/2023).

Sedangkan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran kesehatan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sesuai dengan kebutuhan kesehatan daerah yang mengacu pada program kesehatan nasional.

Pengalokasian anggaran kesehatan tersebut termasuk memperhatikan penyelesaian permasalahan kesehatan berdasarkan beban penyakit atau epidemiologi. Adapun dalam rangka upaya peningkatan kinerja pendanaan kesehatan, pemerintah pusat dapat memberikan insentif atau disinsentif kepada pemerintah daerah sesuai dengan capaian kinerja program dan pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

"Langkah-langkah yang akan dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah terkait bagaimana kita merespons berbagai persoalan kesehatan di Tanah Air yang akan kita kerjakan. Lalu kemudian anggaran akan kita siapkan untuk mendukung program yang akan kita laksanakan tersebut," ujar Melki.

Dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, pelibatan tanggung jawab pemerintah daerah dan pusat juga harus diselaraskan. Termasuk pengaturan perlindungan tenaga medis dan tenaga kesehatan.

"Terutama yang bertugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan, serta daerah bermasalah kesehatan atau daerah tidak diminati dapat memperoleh tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan, dukungan sarana prasarana dan alat kesehatan, kenaikan pangkat luar biasa, dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Melki.

Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi menjelaskan tiga alasan pihaknya menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang. Salah satu alasan penolakan adalah keputusan pemerintah yang menghapuskan pengeluaran wajib atau mandatory spending untuk sektor kesehatan sebesar 5 persen dari APBN.

"Hal tersebut semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan di seluruh lapisan masyarakat," ujar Dede.

Fraksi Partai Demokrat ingin agar mandatory spending seharusnya ditingkatkan, bukan malah dihapuskan. Sebab, besarnya anggaran untuk sektor kesehatan bertujuan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

"Mandatory spending kesehatan masih sangat diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat dan dalam rangka mencapai tingkat indeks pembangunan manusia," ujar Dede.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement