Rabu 26 Jul 2023 03:56 WIB

The 1975, Tebar Kebencian dan White Savior Complex

Matty Healy tidak peduli dampak yang terjadi dari aksinya

Vokalis The 1975 Matty Healy dan pemain bas Ross MacDonald. Sebelum aksi tak bermoral yang dilakukan di Malaysia, rupanya band tersebut pernah melakukan aksi serupa di San Fransico.
Foto: EPA-EFE/MARTON MONUS HUNGARY OUT
Vokalis The 1975 Matty Healy dan pemain bas Ross MacDonald. Sebelum aksi tak bermoral yang dilakukan di Malaysia, rupanya band tersebut pernah melakukan aksi serupa di San Fransico.

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Gaya Hidup Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, The 1975, band indie-rock asal Inggris, walau oleh sesama musisi tak layak disebut Rock, ini baru saja membuat ulah. Vokalis The 1975, Matty Healy melakukan aksi tak senonoh dengan mencium bibir basis band, Ross MacDonald, dalam ajang Good Vibes Festival.

Sebelum aksi ciuman, Matty Healy sempat menyampaikan unek-uneknya. Ia merasa band The 1975 tidak perlu diundang ke sebuah negara yang mengatur soal hubungan antar-gender atau ia sebut 'dengan siapa kami dapat berhubungan seks'.

Tutur katanya ini mengacu pada Undang-Undang (UU) anti-LGBTQ. "Saya minta maaf jika itu menyinggung Anda, tetapi pemerintah Anda adalah sekelompok orang bodoh dan saya tidak peduli lagi,” kata dia.

Ia melakukan aksi itu sambil menggenggam dan meminum minuman keras di atas panggung. Ia juga melontarkan beragam kebencian dan meludah di atas panggung.

Beberapa musisi Indonesia, pun bereaksi keras terhadap aksi ciuman sesama jenis tersebut.

Vokalis Sheila On 7 Duta Modjo menyindir The 1975. Dari atas panggung, Duta mengatakan, “Selamat malam We The Fest 2023. Teman-teman sehat semuanya? Perkenalkan kami Sheila on f*cking Seven-ty Five".

Bukan hanya Duta Sheila on 7 dan Iqbaal Ramadan yang menunjukkan tidak suka dengan perilaku amoral The 1975, musisi Tanah Air lain ada juga yang memberi komentar langsung di akun Instagram The 1975.

Eat your own s*it,” kata Eno Netral juga berkomentar di akun resmi itu.

Ada juga musisi asal Korea Selatan yang tinggal di Amerika Serikat, David Choi, juga menyayangkan perilaku The 1975 yang sangat egois, tidak profesional, dan tidak menghargai privilege yang dimilikinya karena memiliki banyak fans di Asia Tenggara.

“Merupakan suatu kehormatan besar untuk memiliki penggemar yang mendukung Anda di Asia Tenggara. Dan apa yang Anda lakukan sangat egois, tidak profesional, dan yang terpenting, 'privilege' (yang jelas tidak Anda pedulikan atau bahkan sadari),” kata David ikut berkomentar di akun The 1975.

Ternyata aksi amoral Healy juga pernah ia lakukan di  San Francisco di Auditorium Bill Graham Civic. Saat lagu "Robbers" sedang dinyanyikan, Healy mencuri ciuman singkat. Melalui akun Instagram-nya, MacDonald membagikan momen tersebut. Dia menuliskan caption-nya dengan “Gadis paling beruntung di dunia".

Pendukung LGBTQ ini juga tak segan menghina Islam. Ia menyebut irinya ateis sehingga banyak yang menyebutnya Islamofobia.

Pada 2014, melalui akun Twitter ia menyebut ISIS dan Islam adalah hal yang sama. Dia sepenuhnya menolak pengguna Twitter lain yang mencoba menjelaskan bahwa alasan pernyataan Healy tidak akurat dan berbahaya. Cicitan tersebut saat ini dihapus, namun beberapa kali ia tertangkap mengunggah lewat Instagram lelucon yang berbau Islamofobia.

White savior 'si kulit putih'

Melihat aksi tidak bermoral Matty Healy, yang ia pikir bisa 'mencerahkan' pola pikir pendengarnya di Malaysia yang notabene kulit berwarna dan Muslim (non white), penulis jadi teringat akan sebuah percakapan dengan wartawan senior Republika, Stevy Maradona. Ketika itu penulis menjelaskan premis serial dokumenter Ancient Apocalypse, yang dipersembahkan penulis Graham Hancock.

Serial itu menjelaskan telah terjadi sebuah 'kiamat' kecil di masa lalu, dimana kemudian datang, seseorang atau kelompok, yang menyebarkan teknologi dan peradaban, sehingga terbentuk di seluruh penjuru dunia bangunan raksasa purba seperti Piramid.

Garis besar cerita Ancient Apocalypse, ditolak kedua wartawan senior Republika tersebut. Tiap-tiap bangsa bisa menciptakan peradaban sendiri dengan beragam keunikannya termasuk membangun piramid.

Peradaban seperti contohnya seorang anak yang baru menginjakkan kaki di pantai. Maka bangunan pertama yang anak tersebut ciptakan adalah gundukan pasir atau dengan kata lain Piramid.

Sayangnya, masalah mulai terjadi ketika sebagian orang-orang kulit putih dihinggapi masalah white savior complex, kadang white savior syndrome atau white saviorism. Orang-orang ini merasa mereka adalah dewa penolong bagi kelompok kulit hitam, warga pribumi dan orang-orang kulit berwarna (BIPOC).

Mereka merasa perlu menyelamatkan atau bahkan mengubah tatanan yang dimiliki kelompok di atas.

Mereka, para 'misionaris perubahan' ini merasa lebih superior, lebih cerdas bahkan lebih beradab dari BIPOC. Mereka tidak peduli dengan tatanan atau pola pikir orang kulit berwarna. Kelompok kulit putih ini juga tidak peduli soal kemungkinan dampak negatif yang terjadi dari aksi 'pencerahan'.

Seperti halnya Matty Healy yang tidak peduli dampak yang terjadi dari aksinya, terutama kelangsungan acara musik Good Vibes Festival. Atau bahkan aksi persekusi lebih parah yang mungkin saja terjadi bagi kelompok LGBT di Malaysia dan sekitarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement