REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Arief Rosyid Hasan, Pengurus Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU)
Jakarta adalah impian. Tempat orang-orang mengadu nasib demi membuktikan keberhasilan diri menaklukkan ibu kota negara Indonesia. Di jalan-jalan Jakarta, di antara bunyi klakson dan kepulan asap kendaraan yang menyatu dengan aroma jajanan, kita seolah menyaksikan lemparan-lemparan dadu dan nasib yang diadu di atas trotoar. Jakarta adalah impian yang tak berakhir, sekaligus akumulasi dari betapa pahitnya realitas yang harus dihadapi sekarang ini, tentang polusi udara, pencemaran air, dan banjir.
Media massa mengangkat tajuk berita yang sama bahwa pada awal Agustus ini polusi udara di Jakarta semakin parah. Akibat kualitas udara Jakarta yang semakin buruk, pemerintah mengusulkan para pekerja untuk work from home (WFH). Bahkan, disebut menjadi kota nomor satu paling berpolusi di dunia (Kompas, 13/8/2023).
Data dari IQAir, indeks kualitas udara di Jakarta hampir tak pernah kurang dari 150 (19/5/2023). Akar dari permasalahan polusi udara dan kerusakan lingkungan lainnya ialah pandangan hidup manusia yang sangat antroposentris.
Sony Keraf dalam Etika Lingkungan menjelaskan antroposentrisme merupakan etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dipandang sebagai satu-satunya entitas yang penting dan berharga sehingga entitas lain, seperti tumbuhan, hewan/satwa, air, dan organisme-organisme lain hadir hanya untuk memenuhi kepentingan manusia.
Kehadiran alam hanya dianggap untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pandangan itulah yang menyebabkan ketidakseimbangan antara manusia dan alam, yang memunculkan kerusakan dan pencemaran lingkungan, termasuk masalah yang sudah lama kita hadapi di Jakarta, yaitu polusi udara.
Polusi Udara Jakarta Akankah Teratasi?
Pencemaran udara telah memberikan sumbangsih terhadap kualitas kesehatan manusia yang semakin menurun. Dampak terhadap kesehatan di antaranya adalah gangguan saluran pernapasan, penyakit jantung, kanker berbagai organ tubuh, gangguan reproduksi dan hipertensi (tekanan darah tinggi). Berdasarkan hasil penelitian dalam jurnal European Heart menemukan orang dewasa dalam kelompok usia sama yang tinggal di area dengan tingkat polusi tinggi lebih rentan terkena tekanan darah tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di daerah dengan polusi minim.
Pemerintah lalu mengusulkan kebijakan work from home (WFH) yang dianggap dapat menjadi solusi mengatasi masalah kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya. Meski demikian, pemerintah tetap menyerahkan keputusan tersebut kepada masing-masing perusahaan. Sementara itu, bagi pekerja lapangan, diusulkan untuk mendapatkan intensif sebab polusi udara sangat berdampak pada kesehatan manusia.
Sejauh ini, Pemprov DKI mengaku telah melakukan usaha untuk mengatasi kualitas udara yang buruk, seperti menanam pohon. Begitu pula dengan upaya melakukan peralihan jenis kendaraan dari menggunakan bahan bakar minyak ke listrik, tidak terkecuali bagi transportasi Transjakarta.
Jakarta sebagai ibu kota negara yang menyangga distribusi barang dan jasa berbagai daerah, tidak dapat dipungkiri menjadi tempat di mana roda industri bergerak secara terus-menerus, khususnya transportasi. Teknologi transportasi ini menyumbang penggunaan konsumsi energi tertinggi, seperti pada penggunaan bahan bakar yang menjadi sumber pencemaran udara. Dan pencemaran udara, tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi tumbuhan dan hewan/satwa serta kualitas air yang dapat mengganggu rantai ekosistem.
Seorang filosof sekaligus aktivis lingkungan hidup asal Bali, Saras Dewi dalam tulisannya Seni Membela Alam yang dimuat Jawa Pos menegaskan vandalisme ekologis yang dilakukan manusia atas nama kemajuan tidak akan menciptakan keunggulan apa pun. Atas kesadaran inilah, solusi pada pencemaran seharusnya diselesaikan dari akar, bukan pada upaya pencegahan dari objek manusianya saja, sebab bumi beserta isinya diperuntukkan bagi seluruh makhluk.