YOGYAKARTA -- Sejumlah pondok pesantren masih menerima santri kalong, tetapi tidak sedikit pula yang sudah mewajibkan santrinya untuk mukim. Hal ini terjadi di banyak daerah di Indonesia, termasuk di Provinsi DIY.
Salah satunya di Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, Kecamatan Sleman, DIY. Pondok pesantren ini menyebut sudah tidak lagi menerima santri kalong dan mewajibkan seluruh santrinya untuk mondok atau tinggal di pondok pesantren.
Santri kalong sendiri merupakan santri yang tidak menetap atau bermukim di pondok pesantren, yang biasanya merupakan warga yang tinggal disekitar pondok pesantren. Sedangkan, santri mukim yakni mereka yang menetap di pondok pesantren, dan biasanya berasal dari daerah yang jauh dari pondok.
Pimpinan Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, Ustaz Abu Kahfi mengatakan, pihaknya sudah tidak tidak menerima santri kalong dalam tiga tahun terakhir. Hal ini dikarenakan ada kekhawatiran terkait pengaruh yang bisa dibawa dari luar pondok pesantren terhadap santri mukim.
"Risikonya besar sekali, sementara yang mukim ini lebih banyak. Dulu kita yang kalong itu sedikit tapi membawa risiko yang luar biasa ke yang mukim. Awalnya hanya setahun saja kita menerima santri kalong, setelah itu kami tutup karena risikonya berat," kata Abu Kahfi kepada Republika, Rabu (13/9/2023).
Ia menjelaskan, santri kalong tentu memiliki kebebasan yang lebih dibandingkan santri yang mukim di pondok pesantren. Hal ini dinilainya bisa mempengaruhi santri mukim, yang bahkan sampai tidak mau tinggal di pondok pesantren.
"Santri yang mukim disini kan tidak boleh bawa HP, tidak boleh main ke warnet. Kalau santri kalong itu kan ketika ngaji dia bawa HP, meski HP disimpan kan dia cerita macam-macam. Akhirnya terpengaruh anak-anak kami yang mukim ini, mereka jadi ingin ngalong, jadi ingin pindah. Jadi semenjak tiga tahun lalu, kita tidak nerima lagi santri kalong," katanya.
Abu Kahfi mengatakan, pihaknya akan kesulitan untuk mengawasi dan mendampingi santri kalong. Mengingat santri ini waktunya justru lebih banyak di luar, dibandingkan dalam pondok pesantren.
Santri kalong lebih banyak hanya mengikuti program dalam pondok pesantren di malam hari. Beda dengan santri mukim, yang mana pengawasannya dilakukan selama 24 jam di dalam pondok.
"(Santri mukim) Mereka disini semua full bimbingan kita dan pengawasan kita. Kalau santri kalong, mereka contohnya hanya empat jam atau lima jam di pondok pesantren adn di luar lebih lama, dan pengaruhnya lebih besar di luar," ucap Abu Kahfi.
Selain itu, alasan pihaknya untuk tidak menerima kembali santri kalong dikarenakan kualitas antara santri kalong dan santri mukim dapat berbeda. Seperti saat pihaknya pernah menerima santri kalong beberapa tahun lalu, ditemukan adanya kesenjangan kualitas santri.
"Jadi perubahannya tidak kelihatan yang santri kalong, terutama di adab dan akhlaknya. Kalau yang mukim di sini full semuanya di bawah bimbingan dan pengawasan kita, sehingga bisa fokus. Mereka melihat contoh, mereka diarahkan untuk pendidikan terkait adab dan akhlak, sehingga terlihat perubahannya," katanya.
Salah satunya di Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, Kecamatan Sleman, DIY. Pondok pesantren ini menyebut sudah tidak lagi menerima santri kalong dan mewajibkan seluruh santrinya untuk mondok atau tinggal di pondok pesantren.
Santri kalong sendiri merupakan santri yang tidak menetap atau bermukim di pondok pesantren, yang biasanya merupakan warga yang tinggal disekitar pondok pesantren. Sedangkan, santri mukim yakni mereka yang menetap di pondok pesantren, dan biasanya berasal dari daerah yang jauh dari pondok.
Pimpinan Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, Ustaz Abu Kahfi mengatakan, pihaknya sudah tidak tidak menerima santri kalong dalam tiga tahun terakhir. Hal ini dikarenakan ada kekhawatiran terkait pengaruh yang bisa dibawa dari luar pondok pesantren terhadap santri mukim.
"Risikonya besar sekali, sementara yang mukim ini lebih banyak. Dulu kita yang kalong itu sedikit tapi membawa risiko yang luar biasa ke yang mukim. Awalnya hanya setahun saja kita menerima santri kalong, setelah itu kami tutup karena risikonya berat," kata Abu Kahfi kepada Republika, Rabu (13/9/2023).
Ia menjelaskan, santri kalong tentu memiliki kebebasan yang lebih dibandingkan santri yang mukim di pondok pesantren. Hal ini dinilainya bisa mempengaruhi santri mukim, yang bahkan sampai tidak mau tinggal di pondok pesantren.
"Santri yang mukim disini kan tidak boleh bawa HP, tidak boleh main ke warnet. Kalau santri kalong itu kan ketika ngaji dia bawa HP, meski HP disimpan kan dia cerita macam-macam. Akhirnya terpengaruh anak-anak kami yang mukim ini, mereka jadi ingin ngalong, jadi ingin pindah. Jadi semenjak tiga tahun lalu, kita tidak nerima lagi santri kalong," katanya.
Abu Kahfi mengatakan, pihaknya akan kesulitan untuk mengawasi dan mendampingi santri kalong. Mengingat santri ini waktunya justru lebih banyak di luar, dibandingkan dalam pondok pesantren.
Santri kalong lebih banyak hanya mengikuti program dalam pondok pesantren di malam hari. Beda dengan santri mukim, yang mana pengawasannya dilakukan selama 24 jam di dalam pondok.
"(Santri mukim) Mereka disini semua full bimbingan kita dan pengawasan kita. Kalau santri kalong, mereka contohnya hanya empat jam atau lima jam di pondok pesantren adn di luar lebih lama, dan pengaruhnya lebih besar di luar," ucap Abu Kahfi.
Selain itu, alasan pihaknya untuk tidak menerima kembali santri kalong dikarenakan kualitas antara santri kalong dan santri mukim dapat berbeda. Seperti saat pihaknya pernah menerima santri kalong beberapa tahun lalu, ditemukan adanya kesenjangan kualitas santri.
"Jadi perubahannya tidak kelihatan yang santri kalong, terutama di adab dan akhlaknya. Kalau yang mukim di sini full semuanya di bawah bimbingan dan pengawasan kita, sehingga bisa fokus. Mereka melihat contoh, mereka diarahkan untuk pendidikan terkait adab dan akhlak, sehingga terlihat perubahannya," katanya.
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement