REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri BUMN Erick Thohir memastikan pemerintah dalam menjalankan komitmen transisi energi tetap mengedepankan kepentingan rakyat. Saat ini, pemerintah terus menata peta biru energi nasional selain untuk menjawab tantangan pengurangan emisi karbon, sekaligus memberikan manfaat kepada masyarakat.
Menurut Erick, transisi menuju EBT di Indonesia tidak dapat disamakan dengan negara lain karena perlu dilihat harga jualnya hingga ke masyarakat. Jika terlalu mahal, maka rakyat yang akan menanggungnya.
"Kalau di luar negeri itu, bayar listrik dan BBM lebih mahal, (tidak masalah) asal green (berbasis EBT), (masyarakatnya) tetap beli. Nah kalau di Indonesia itu belum siap. Tingkat kemiskinan dan kesenjangan masih terasa. Itu yang harus kita perhatikan," tutur Erick, Senin (9/10/2023).
Demikian juga dengan industri dalam negeri. Erick mengatakan, pelaku usaha juga akan menjadi tidak kompetitif jika dibebani harga listrik yang mahal. Banyak negara ingin dunia usaha Indonesia itu tidak kompetitif.
"Itulah makanya pemerintah mengambil posisi tahun 2060 (untuk target Net Zero Emissions), bukan 2050. Kementerian BUMN juga mengambil posisi, kita lakukan kesepakatan tetapi tidak menyebabkan (pelaku usaha) mati besok. Kalau besok mematikan, industri kita collapse," ungkap Erick.
Menurut Erick, berbagai upaya terus menjadi pertimbangan pemerintah dalam proses transisi menuju EBT. Di sisi lain, Indonesia juga memiliki potensi pengembangan EBT, seperti panas bumi yang berpotensi menghasilkan energi sebesar 24 GW. Itu belum termasuk potensi pengembangan EBT dari tenaga angin, air, hingga matahari.