REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei Asesmen Nasional (AN) 2022 menunjukkan, 34,51 persen peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9 persen peserta didik berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen berpotensi menghadapi perundungan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan, penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan harus dilakukan serius oleh semua pihak terkait.
“Hal ini harus ditangani dengan serius karena kekerasan yang dialami oleh anak dalam masa pertumbuhan akan meningkatkan trauma sangat panjang dan mendalam yang dapat mengganggu proses belajar, tentu berdampak dan menghambat tercapainya SDM Indonesia yang berkualitas di masa depan,” ujar Staf Ahli Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat Muhammad Adlin Sila lewat keterangannya, Jumat (3/11/2023).
Data AN 2022 itu menunjukkan masih adanya potensi-potensi kekerasan di satuan pendidikan. Sementara data aduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada perlindungan khusus anak tahun 2022 menyebutkan, kategori tertinggi anak korban kejahatan seksual adalah anak korban kekerasan fisik dan atau psikis, serta anak korban pornografi dan kejahatan siber sebanyak 2.133 kasus.
Untuk itu, dalam mengimplementasikan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) pihaknya bersama empat kementerian dan tiga lembaga telah menyepakati Nota Kesepahaman. Adlin mengajak mitra dari seluruh kementerian dan lembaga untuk berkolaborasi melaksanakan PPKSP.
Adapun empat kementerian tersebut adalah Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Sedangkan tiga lembaga lainnya adalah KPAI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
Senada dengan Adlin, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong mengapresiasi Kemendikbudristek yang telah menerbitkan peraturan terkait PPKSP. Di mana aturan itu sebagai penyempurnaan dari Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
“Aturan ini menghilangkan area abu-abu karena memberikan definisi yang jelas untuk membedakan kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, serta diskriminasi dan intoleransi untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan,” ujar Usman.
Sebagai Ketua Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas) Kementerian/Lembaga, Usman mengimbau kepada anggotanya agar menyebarkan secara luas dan masif informasi terkait Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023. Ia mengatakan, humas pemerintah harus mengambil bagian untuk berkolaborasi dan bersinergi dalam membangun strategi komunikasi publik yang baik agar regulasi dapat berjalan dengan efektif.
“Semoga usaha dan itikad kita bersama dalam menggaungkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 melalui narasi-narasi yang membumi dan kanal komunikasi publik yang kita miliki dan kelola bersama dapat membangun kesadaran, menanamkan nilai-nilai, hingga perubahan perilaku dapat tersampaikan dari hulu ke hilir,” pesan Usman.
Koordinator Tim Tiga Dosa Besar Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek Dedek Suryaman menyampaikan, kekerasan menjadi sorotan pemimpin dunia sebagai isu prioritas yang harus segera diatasi. Hal itu sesuai dengan target ke-16 dalam tujuan pembangunan berkelanjutan yakni perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh.
“Permendikbudristek PPKSP menjadi bagian yang penting dalam memenuhi amanat Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang bertujuan untuk melindungi anak. Mari gerak bersama menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, berkebinekaan, dan aman bagi semua demi terwujudnya Pelajar Pancasila dan Merdeka Belajar,” ajak dia.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Hukum, Tata Laksana dan SDM, Direktorat Jenderal PDM Kemendikbudristek Anny Sayekti menjelaskan hingga 1 November 2023 telah terbentuk 71.657 Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) atau 16,4 persen dari 436.776 satuan pendidikan di Indonesia. Ia menekankan pentingnya membangun kolaborasi lintas sektor dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di Indonesia.
“Kolaborasi dari seluruh lapisan masyarakat mulai dari pemerintah, media, institusi pendidikan, pelaku usaha/industri, serta masyarakat dan komunitas sangat diperlukan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di Indonesia,” jelas Anny.
Auditor Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek Suwardi mengungkapkan jumlah kasus Tiga Dosa Besar yang terjadi di satuan pendidikan dan ditangani oleh Kemendikbudristek. Hingga saat ini, kekerasan seksual telah terjadi sebanyak 115 kasus, perundungan 61 kasus, dan intoleransi sebanyak 24 kasus. Dari jumlah kasus tersebut, isu terbanyak adalah kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi.
“Penjatuhan sanksi telah dilakukan kepada yang terlibat. Dalam penanganan Tiga Dosa Besar di tingkat pendidikan dasar dan menengah, Kemendikbudristek melakukan intervensi dengan cara visitasi dan berkoordinasi dengan K/L lain, dinas pendidikan dan dinas terkait, serta jaringan masyarakat sipil untuk selanjutnya memberikan rekomendasi atas penyelesaian kasus,” kata Bayu.