Selasa 21 Nov 2023 15:13 WIB

Ini 8 Alasan PKS Jadi Satu-satunya Fraksi Tolak Revisi UU Pilkada

PKS memiliki 8 alasan untuk jadi satu-satunya fraksi menolak revisi UU Pilkada.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini. PKS memiliki 8 alasan untuk jadi satu-satunya fraksi menolak revisi UU Pilkada.
Foto: istimewa/doc humas
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini. PKS memiliki 8 alasan untuk jadi satu-satunya fraksi menolak revisi UU Pilkada.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya yang menolak revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) menjadi RUU usul inisiatif DPR. Terdapat delapan alasan penolakan yang diberikan kepada pimpinan DPR.

Pertama adalah pengaturan tentang Pilkada harus menjunjung semangat demokrasi yang beradab. Serta tidak menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan, mengedepankan kepentingan masyarakat, dan menghormati hukum yang telah ditetapkan.

Baca Juga

Apalagi alasan untuk merevisi UU Pilkada adalah untuk mempercepat pelaksanaannya, dari yang awalnya Desember menjadi November 2024. Di mana awalnya percepatan tersebut akan diatur lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).

"Nggak ada alasan yang kuat ya untuk memajukan Pilkada itu, karena itu kan sudah waktu membahas undang-undang, diputuskan melalui pembahasan yang mendalam dong di undang-undang bulan November itu," ujar Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (21/11/2023).

Kedua, Fraksi PKS memandang pembahasan revisi UU Pilkada dilakukan tergesa-gesa. Ia menyoroti bagaimana Badan Legislasi (Baleg) yang tiba-tiba membahas penyusunan drafnya pada masa reses DPR.

Ketiga, revisi UU Pilkada tidaklah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2023. Ada kesan disusun dan dibahasnya revisi UU Pilkada dipaksakan jika hanya mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Panwaslu dan syarat calon kepala daerah.

Selanjutnya, percepatan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 ke September akan menimbulkan ketidaksiapan penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) 2024. Terutama adanya potensi pemilihan presiden (Pilpres) akan dilaksanakan dalam dua putaran.

Kelima, percepatan jadwal pelaksanaan pilkada akan berdampak biaya penyelenggaraan yang akan semakin besar. Hal tersebut disebabkan waktu persiapan pilkada yang lebih singkat, sehingga menyebabkan pengadaan logistik Pilkada, biaya pelatihan petugas, biaya operasional dan lain-lain yang berkaitan dengan pilkada harus dipersiapkan secara cepat.

Keenam, percepatan pelaksanaan pilkada menjadi pada November akan mengurangi waktu persiapan bagi peserta. Sehingga bisa berpotensi merugikan partai politik yang akan menyiapkan seleksi internal bagi calon kepala daerah yang akan diusungnya.

Ketujuh, percepatan jadwal pilkada tersebut berdampak pada waktu kampanye menjadi sangat singkat yaitu maksimal 35 hari. Sehingga proses kampanye ide dan gagasan kepada masyarakat menjadi lebih terbatas dan tidak optimal.

Terakhir, rencana percepatan pelaksanaan Pilkada 2024 akan menimbulkan prasangka dan kegaduhan di masyarakat. Sehingga bisa mendorong ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu, karena sangat kentara dengan kepentingan politik.

"Jadi kenapa PKS menolak, PKS tidak ingin membuat aturan itu kesannya main-main gitu loh. Ada keinginan sekelompok berubah, ada keinginan sekelompok berubah, itu akan mengurangi wibawa dan sakralitas undang-undang itu," tegas Jazuli.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement